Jumat, 15 Mei 2009

IDEOLOGI PENDIDIKAN: SEBUAH PENGANTAR

IDEOLOGI PENDIDIKAN: SEBUAH PENGANTAR



ACAPKALI pendidikan selalu diperdengarkan ditelinga kita, dengan demikian, pendidikan menempati kompentensi yang cukup tinggi dalam menyelesaikan berbagai problem sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting pendidikan bagi keberlangsungan spesies manusia. Bahkan Rasul Muhammad sendiri menyatakan bahwa "carilah ilmu mulai dari kandungan sampai ke liang lahat". Hal ini tentunya membawa implikasi logis bagi dinamika dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.Atas dasar argumentasi diatas, tulisan ini, sedikit mencoba memaparkan akar muasal pendidikan tersebut, dengan harapan dari tinjauan arkeologis-genealogis-meminjam istilah Michael Faucoult-akan ditemukan sebuah pengertian mendasar tentang makna pendidikan itu sendiri. Lebih dari itu, juga mencoba untuk merumuskan ide dasar dari perkembangan kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam dunia pendidikan.


Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Paedagogus" berdasar pada pangkal kata "pais", yang berarti perkataan yang berhubungan dengan anak. kata Dalam perkembangan sejarah dan sejalan dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan, arti pendidikan terus berubah-ubah. Hadi Supeno dalam bukunya yang berjudul "Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan" menyebutkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berarti usaha untuk melanggengkan budaya yang ada, kepada generasi penerus serta upaya mempertahankan status quo, yakni tetap bertahannya nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.


Pendapat ini kemudian diargumentasikan sendiri oleh Supeno. Ia memberikan gambaran bahwa pendidikan sebenarnya harus mampu menolong atau membantu proses peserta didik dalam menemukan jati dirinya. Pendidikan harus mampu menemukan ke-berdikari-an baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dari sini diharapkan pendidikan tidak lagi sebagai sebuah proses penyadaran setengah hati. Pendidikan tidak lagi asal-asalan, melainkan pendidikan-menurut J. Sudarminta-adalah usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri kearah terciptanya pribadi yang dewasa susila.


Berbeda dengan Supeno maupun Sudarminta, Muhaimin dalam bukunya "Paradigma Pendidikan Agama Islam" memberikan cakupan yang lebih luas tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas merupakan upaya yang secara sadar dirancang untuk membentuk seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup baik yang bersifat mental maupun sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah sebuah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup pada salah satu ataupun beberapa pihak.


Disisi lain pendidikan juga sering diidentikkan perannya dengan memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh John C. Bock dalam "Education and Development : A Conflic Meaning" (1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan juga mengambil peran strategis guna menyiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial serta untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan. Peran pertama merupakan fungsi politik pendidikan sedangkan dua peran yang lainnya merupakan fungsi ekonomi.


Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat pendidikan, yakni paradigma fungsional dan pardigm sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai cukup pendidikan yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di barat, lembaga pendidikan dengan sistem persekolahan merupakn lembaga utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul sebuah tesis human investment, yang menyebutkan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of system yang lebih tinggi dibandingkan investasi dalam bidang fisik.


Sejalan dengan paradigma fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah, pertama, mengembngkn kompetensi individu. kedua, kompetensi yang tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. Ketiga, meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Bagi kaum liberalis pendidikan diartikan sebagai usaha untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada dengan cara mengajarkan pada setiap anak-anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti rinci pendidikan harus berupaya untuk menyedikan informasi dan ketrampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif. Disamping itu, pendidikan harus mengajarkan bagaimana memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kolektif, dengan berdasarkan pada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dan pembuktian gagasan.

Max Rafferty dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah upaya penumpukan pengetahuan yang besar yang ditambahkan ke dalam warisan para pemikir dan praktisi dari generasi ke generasi. Pendidikan menuntut keapaadaan penyampaian. Seorang guru bahasa inggris, misalkan, harus mengenal tatabahasa luar dalam, dan jangan mengajarkan omong kosong tentang bagaimana cara bersulang yang baik dengan menggunakan bahasa inggris.


Ilmu pendidikan atau paedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Paedagogik selain bercorak teoritis juga bercorak praktis. Untuk yang teoritis diutarakanlah hal-hal yang bersifat normatif, sedangkan yang praktis menunjuk pada bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan.

Paedagogik sebagai ilmu pokok dalam pendidikan dan sesuai dengan jiwa dan isinya sudah barang tentu memerlukan landasan-landasan yang berasal dari filsafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Dikatakan landasan, apabila melahirkan pemikiran-pemikiran yang teoritis mengenai pendidikan, dan dikatakan hubungan bila berbagai pemikiran mengenai pendidikan memerlukan iluminasi dan bantuan penyelesaian filsafat.


Dari pengertian diatas dapatlah diidentifikasi bahwa pemikiran-pemikiran filosofis tersebut lantas memberikan sumbangn yang cukup signifikan bagi perkembangn metodologi pendidikan. Dikarenakan tarikan metodologi selalu berlatar empiris yang berbeda, dus, berbeda pula simpulannya. Dengan demikian sah, jika muncul banyak aliran-alitan baik dalam dunia filsafat maupun lebih khusus lagi yang berkembang dalam dunia pendidikan. Berikut adalah beberapa aliran yang berkembang dalam dunia pendidikan plus dengan thesa-sinthesa dan antithesa yang melatarbelakanginya.

Fundamentalisme

Fundmentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap tolok ukur keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif dan atau yang diwahyukan. Pada umumnya fundamentalisme menerima jalur penalaran yang dapat diikhtisarkan menjadi lima titik dasar.


Pertama, ada jawaban otoritatif terhadap seluruh problem kehidupan yang memiliki arti penting. Kedua, jawaban-jawaban itu pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar (eksternal); entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima oleh para nabi atau orang suci. Ketiga, jawaban itu bukan saja otoritatif, melainkan langsung mengena pada persoalan, tidak mengandung makna ganda, tidak mendua dan bisa langsung dimengerti oleh orang awam, tidak membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur tangan pakar. Keempat, jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah cukup bagi siapapun yang berhasrat hidup secara baik. Sedangkan yang kelima, bahwa untuk kehidupan yang baik, orang tidak hanya perlu kembali pada kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau pada agama, lebih dari itu, yakni dengan mengamini segala macam bentuk pewahyuan .

Dengan demikian pendidikan bagi kaum fundamentalis bertujuan untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Sedangkan tujuan institusional pendidikannya antara lain untuk membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong agar kembali ke tujuan-tujuan yang semula, yakni memberikan informasi dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam tatanan sosial.


Adapun ciri-ciri umumnya adalah bertumpu pada pengetahuan sebagai sebuah alat untuk membangun kembali masyarakat yang mengikuti pola keunggulan moral tertentu yang dahulu pernah ada.


Karena pendidikan adalah pewarisan moral, berpusat dari tujuan asli, maka penekanan kembali pada masa silam sebagai orientasi korektif (petunjuk ke arah pembetulan) merupkan hal yang mustahaq bagi kaum fundamentalisme.


Intelektualisme

Secara umum intelektualisme meyakini bahwa ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal, yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu ada. Dan bahwa kebenaran-kebenaran itu berlaku bagi ummat manusia pada umumnya dan tidak merupakan milik yang unik dari individu maupun kelompok manusia tertentu saja.


Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme pendidikan adalah bahwa menganalisa, meneruskan dan melestarikan kebenaran, mengajarkan pada terdidik bagaimana cara menalar, meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa silam yang bertahan mutlak dilakukan. Adapun ciri umumnya adalah bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan akhir yang ada dalam diri manusia. Bahwa kebenaran adalah intrinsik. Manusia adalah kodrat atau hakekt yang sifatnya universal, yang melampaui keadaan-keadaan tertentu yang telah ada.


Konservativisme

Bagi kaum konservatif, tujuan atau asaran pendidikan adalah sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi. Berciri "orientasi ke masa kini", para pendidik konservatif sangat menghargai masa silam, namun terutama memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan pola-pola belajar mengajar didalam konteks sosial yang ada sekarang ini, ia ingin mempromosikan perkembangan masyarakat kontemporer yang seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluan-keperluan legal intitusional suatu kemapanan.


Selain itu konservatisme juga bertujuan untuk mendorong pemapanan dan penghargaan bagi lembaga-lembaga, tradisi-tradisi dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, termasuk rasa hormat yang tinggi. Dengan demikian, kaum konservatif menganggap bahwa meneruskan informasi dan ketrampilan yang sesuai, supaya berhasil dalam tatanan soial yang ada, adalah merupakan tujuan lembaga pendidikannya.

Liberalisme

Prinsip kaum liberalisme pendidikan adalah mengangkat perilaku personal yang efektif. Dalam hal ini, tak lebih hanya sebagai sarana untuk pembelajaran bagi siswa tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan praktis melalui penerapan tatacara-tatacara pemecahan masalah secara personal maupun kelompok, dengan berdasar pada metode ilmiah-rasional. Adapun ciri-ciri umum dari liberalisme pendidikan antara lain;

Pertama, Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis. Kedua, Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan kepuasan terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi kondisi yang berubah; pemikiran efektif (kecerdasan praktis)-kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan. Ketiga, pendidikan adalah pengembangan efektifitas personal, yang berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan masalah perseorangan maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan individu sekarang.

Konstruktivisme

Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada pertengahan abad ke-19 dalam tulisan Marx Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktifisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Itali. Dialah cikal bakal konstruktifisme. Pada tahun 1710 Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata "Tuhan adalah pencipta alam, dan manusia adalah tuan dari ciptaannya". Ia menjelaskan bahwa "mengetahui" berarti "mengetahui bagaimana cara membuat sesuatu". Ini berarti orang dapat mengetahui sesuatu setelah ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.


Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktifisme, pengetahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.


Progressivisme

Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressifisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.


Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress)
.

Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.

Essensialisme


Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.


Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.

Perennialisme

Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.

Perennialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan manusia. Motif perennialisme dengan mengambil jalan regresif tersebut, bukan hanya nostalgia pada nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan bagaimana agar nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan.

Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasionalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus

























SISTEM PENDIDIKAN DALAM IDEOLOGI SEKULER-KAPITALISME : STUDI KASUS SISTEM PENDIDIKAN AMERIKA

Pemikiran-Pemikiran Dasar
Sebagaimana halnya dengan ideologi-ideologi yang lain, ideologi sekuler memiliki pemikiran dan metode untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Ideologi sekuler-kapitalisme juga menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mentransfer pemikiran-pemikiran mereka ke masyarakat dan mencetak para pengemban-pengemban baru ideologi ini.
Bahkan lebih dari itu, bila dilihat dari sejarah awal ideologi ini, akan terlihat pentingnya peranan dunia pendidikan bagi ideologi sekuler-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran awal ideologi sekuler muncul dalam benak kaum pemikir dan intelektual abad pertengahan Eropa. Penindasan dan pengekangan pemikiran yang dilakukan institusi gereja di abad pertengahan menyebakan lahirnya pemikiran-pemikiran tandingan dari kaum intelektual Eropa yang berupa konsep kebebasan.
Perkembangan di Eropa, sebagai akibat kuatnya kaum menengah dan kaum intelektual, kemudian melahirkan revolusi industri, yang memunculkan kelompok berkuasa yang baru, yaitu para pemilik modal dan para pengusaha. Semenjak itulah, ideologi sekulerisme menjadi lebih dominan pada sektor ekonominya, dan lebih sering disebut sebagai ideologi kapitalisme. Walaupun begitu, peran penting para cendekiawan dan intelektual masih sangat kuat, karena mereka menjadi motor penggerak pemikiran-pemikiran ideologi ini, serta menjadi penjaga bagi keberlangsungan ideologi ini.
Sinergi antara para intelektual dan para pemilik modal, menjadi bentuk sinergi baru mirip seperti sinergi para gerejawan dan raja sebelumnya. Para intelektual merupakan ujung tombak dalam perang pemikiran yang dikobarkan ideologi ini dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ideologi lawan, seperti ketika akan menjajah suatu negara yang mungkin di dalamnya terdapat suatu ideologi baik diemban oleh negara tersebut ataupun diemban oleh sebagian masyarakatnya, ataupun ketika berusaha mendominasi percaturan politik dunia.
Pemikiran-pemikiran ideologi sekuler-kapitalisme didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme. Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan kebebasan bertingkahlaku.
Pemikiran ideologi sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas di atas. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan dari pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik.
Karena itu terkadang negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Negara seperti Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme, untuk ikut mendanai biaya pendidikan.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berkespresi, maka peran dan campur tangan negara dalam masalah sistem pendidikan, harus sangat minimal, terutama dari segi kurikulum. Sebab bila tidak dikhawatirkan akan membatasi berkembangnya pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat tertentu, lalu pemikiran dan pendapat yang sejalan dengan pemerintahlah yang akan dikembangkan, baik dalam dunia akademik, maupun di masyarakat.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berekspresi ini, maka institusi pendidikan haruslah semaksimal mungkin, mandiri dan otonom, dalam pendanaan maupun dalam pembuatan kurikulum/materi ajar. Sehingga terkadang di suatu negera bentuk sistem pendidikannya tidaklah terstruktur rapi di bawah kendali negara. Seperti misalnya di USA, sistem pendidikan yang terstruktur tidak tampak dalam level pemerintah federal, tetapi hanya ada pada level pemerintah negara bagian, maupun pemerintahan lokal (distrik atau kota). Banyak badan-badan sertifikasi sekolah maupun sertifikasi guru yang tidak terkait langsung dengan struktur pemerintah.
Penanaman ideologi sekuler-kapitalisme kebanyakan tidak dilakukan secara langsung melalui kurikulum tetapi melalui materi pendidikan lewat para pendidik maupun lewat pendapat-pendapat para cendekiawan mereka yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini, kepada para peserta didik, khususnya di tingkat menegah ke atas, maupun ke masyarakat umum melalui media massa. Cara yang paling sering dipakai dalam dunia pendidikan adalah fakta sejarah bangsa Barat, ketika di masa penindasan gereja dibandingkan dengan masa reinaissance.
Untuk menjaga kebebasan kepemilikan, maka siapa saja, berhak dan boleh membuat institusi pendidikan, termasuk pemerintah, dan juga kalangan agamawan. Juga dibolehkan untuk menjadikan institusi pendidikan itu sebagai suatu lembaga profit, ataupun lembaga untuk mengkader orang-orang dengan pola agama tertentu. Tetapi bila dilakukan oleh negara, maka untuk menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan, maka institusi tersebut tidak boleh mengajarkan pemikiran-pemikiran khusus agama tertentu, kecuali sebatas sebagai ilmu. Tidak boleh juga dalam institusi milik negara tadi adanya segala sesuatu yang bisa membuat institusi tersebut condong pada suatu kelompok dalam masyarakat, ataupun memusuhi suatu kelompok dalam masyarakat. Untuk menjamin keadilan dalam kebebasan kepemilikan, dalam hal dana-dana dari pemerintah untuk dunia pendidikan, termasuk dana untuk riset penelitian, tidak boleh memprioritaskan berdasarkan kepemilikan. Artinya, suatu institusi pendidikan milik pemerintah maupun milik non pemerintah memiliki hak dan kesempatan yang sama terhadap dana-dana pendidikan dan riset tadi. Termasuk juga dalam masalah kebebasan kepemilikan, institusi pendidikan bebas dalam mencari sumber-sumber dananya sendiri, baik dari masyarakat maupun dari pihak luar bahkan asing.
Sekilas Sistem Pendidikan di USA
Untuk memberikan gambaran aplikasi penerapan konsep-konsep pemikiran sekuler-kapitalisme dalam bidang pendididikan, akan kita berikan sekilas gambaran sistem pendidikan di USA. Walaupun model sistem pendidikan di USA bukan merupakan satu-satunya model penerapan konsep sekuler-kapitalisme dalam bidang pendidikan, tetapi karena saat ini USA merupakan negara adidaya, maka konsepnya dalam berbagai bidang akan terasa pengaruhnya di negeri-negeri lain, khususnya di Indonesia.
Sistem pendidikan di Amerika memiliki sifat yang khas yang berbeda dari sistem pendidikan di negara-negara lain, hal ini terutama karena sistem pemerintahannya yang mendelegasikan kebanyakan wewenang kepada pemerintahan negara bagian dan pemerintahan lokal (distrik atau kota).
Amerika tidak memiliki sistem pendidikan nasional, yang ada adalah sistem pendidikan dalam artian terbatas, pada masing-masing negara bagian. Hal ini berdasarakan pada filosofi bahwa pemerintah (federal/pusat) harus dibatasi perannya, terutama dalam pengendalian kebanyakan fungsi-fungsi publik seperti sekolah, pelayanan sosial dsb. Kendali semacam itu harus berada di tangan negara bagian atau masyarakat dan pemerintahan lokal.
Karena itu di Amerika dalam bidang pendidikan dasar dan menengah, tidak ada kurikulum nasional, bahkan tidak ada kurikulum negara bagian. Apa yang ada hanyalah semacam standar-standar kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh pemerintahan negara bagian ataupun pemerintahan lokal. Walaupun begitu pemerintah federal (pusat) diberi wewenang terbatas untuk mengintervensi dalam masalah pendidikan, bila terkait dengan empat hal, yaitu untuk :
- memajukan demokrasi,
- menjamin kesamaan dalam peluang pendidikan,
- meningkatkan produktivitas nasional,
- memperkuat pertahanan/ketahanan nasional.
Bentuk intervensi pemerintah pusat tidak dalam bentuk penentuan materi ajar, tetapi dalam bentuk usulan-usulan maupun program-program pendanaan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagai akibatnya pendanaan pemerintah federal di bidang pendidikan sangat kecil, sebagai gambaran di tahun 2005 hanya 2,9 persen dari total budjet pemerintah federal yang dialokasikan untuk pendidikan. Total 2,9 persen dari dana federal tersebut hanya menyumbang antara 8 sampai 10 persen budjet pendidikan di seluruh Amerika. Ini berarti sumbangan terbesar pendanaan pendidikan ada pada pemerintah negara bagian dan dana masyarakat.
Sebagian besar sekolah tingkat dasar dan menengah dimiliki dan didanai oleh negara bagian dan pemerintah lokal, dan semuanya gratis. Tetapi terdapat juga sejumlah sekolah swasta yang tidak mendapat dana dari pemerintah, dan biasanya sangat mahal tetapi memiliki kualitas yang terkenal. Sekolah semacam ini biasanya dikelola oleh lembaga keagamaan, dan biasanya hanya dapat diakses oleh kelompok elit dan keluarga-keluarga kaya di Amerika. Kebanyakan para politikus dan negarawan Amerika adalah alumni sekolah-sekolah elit semacam ini.
Dalam bidang pendidikan tinggi, semua universitas memiliki otonomi yang sangat besar dalam masalah akademik dan pendanaan. Tidak ada kurikulum nasional dan juga tidak ada standarisasi kompetensi kelulusan di perguruan tinggi. Terdapat beberapa lembaga, khususnya kebanyakan majalah, yang melakukan perangkingan terhadap unviersitas-universitas, seperti US News and World Reports (menerbitkan America’s Best Colleges dan America’s Best Graduates Schools), dan Business Week (menerbitkan Best Business Schools), tetapi lembaga-lembaga ini bukan lembaga pemerintah. Juga terdapat berbagai lembaga akreditasi regional maupun nasional, yang mengakreditasi berbagai bidang pendidikan maupun bidang profesional. Tetapi lembaga akreditasi ini tidak terkait dengan pemerintah baik pusat maupun pemerintahan negara bagian.
Lembaga-lembaga akreditasi tadi semacam yayasan non profit yang kebanyakan anggotanya adalah para profesional terkait bidang yang diakreditasi. Lembaga-lembaga akreditasi tersebut memperoleh pengakuan melalui dua lembaga, Council of Higher Education Accreditation (CHEA suatu lembaga swasta - non pemerintah) dan US. Department of Education. Ketiadaan kurikulum maupun standar nasional maupun lokal di bidang pendidikan tinggi, menyebabkan kebanyakan universitas-unversitas di Amerika, membentuk kurikulumnya berdasarkan pada perkembangan pasar dunia kerja dan industri. Kerjasama dengan pihak perusahaan/industri juga sering dilakukan, dalam bentuk magang (internship), yang tentunya menguntungkan perusahaan karena mendapatkan sumberdaya manusia yang murah dengan kualitas yang memadai. Bentuk kerjasama dengan pihak industri, secara terbatas, juga menentukan pola kurikulum yang ada di suatu universitas.
Sebagian besar unversitas adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki oleh negara bagian. Sebanyak 92 dari 100 universitas terbesar di Amerika adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki negara-negara bagian. Tidak ada institusi pendidikan yang dimiliki negara federal kecuali beberapa akademi militer. Universitas-universitas publik tersebut dipimpin oleh board of trustees (semacam majelis wali amanat) yang bertanggung jawab kepada pemerintah negara bagian yang menjadi pemiliknya. Walaupun didanai oleh negara bagian, tetapi sebagian pendanaan universitas-unversitas publik juga berasal dari masyarakat, terutama peserta didik dalam bentuk SPP dan biaya-biaya lain, bahkan hanya sekitar 10 sampai 30 persen budjet universitas publik yang berasal dari pemerintah negara bagian di mana universitas itu berada. Selebihnya budjet universitas publik, berasal dari hibah, spp mahasiswa, kontrak-kontrak kerjasama dan sumbangan.
Walaupun tidak semahal SPP univesitas privat/swasta, SPP di universitas publik masih termasuk tinggi, sehingga masyarakat dari kalangan menengah bawah kesulitan dalam memasukinya, kecuali dengan bantuan sistem pendanaan. Banyak siswa yang tidak akan dapat merasakan pendidikan tinggi kecuali mendapat bantuan berupa grant (hibah) atau scholarship(beasiswa). Banyak juga siswa yang mengambil pinjaman khusus pendidikan (student loans) untuk biaya kuliahnya, yang nantinya dilunasi ketika dia sudah lulus. Untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan, kebanyakan universitas juga membuka pekerjaan untuk mahasiswanya, seperti bekerja sebagai asisten riset, maupun pekerjaan administrasi. Dengan mekanisme semacam ini, universitas dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan biaya yang lebih murah, karena mahasiswa pekerja (student worker) ini digaji dengan honor yang lebih rendah dari honor pekerja biasa, dan sering tidak mendapat keuntungan-keuntungan sebagaimana layaknya pekerja biasa di Amerika.
Selain universitas-universitas publik, terdapat sejumlah universitas privat (swasta). Tentu saja biaya kuliah di universitas-universitas ini sangat mahal, mencapai lima kali lipat dari biaya di universitas publik kebanyakan. Tetapi dalam bidang kualitas, hampir 25 posisi teratas dalam rangking-rangking berbagai bidang, kecuali tiga atau empat posisi, dikuasai oleh universitas-unversitas privat. Karena tidak menggunakan dana publik maka pengelolaan universitas-universitas privat ini lebih fleksibel dan bebas. Bila universitas publik tidak boleh membuka cabang di luar negara bagiannya, sebaliknya universitas privat dapat bebas menbuka cabang di berbagai tepat termasuk di luar negeri.
Universitas-universitas privat inilah yang banyak `mengekspor pendidikan’ ke berbagai negera. Mereka juga lebih bebas dalam memperoleh sumber-sumber pendanaan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak (industri). Ketika berkaitan dengan pendanaan riset, pemerintah federal berkewajiban untuk memperlakukan semua lembaga pendidikan secara sama, sehingga universitas privat memiliki peluang yang sama dalam mendapat dana riset seperti halnya universitas publik. Kesemua hal di atas, ditambah dengan kebebasan dalam memperoleh dana-dana tambahan dari industri dan sumbangan pribadi yang tidak mudah diakses universitas publik, menyebabkan universitas-universitas privat lebih berkualitas dan beberapa di antaranya menjadi universitas unggulan taraf internasional.
Terlepas dari bentuk dan sistem pendidikan yang saat ini diterapkan di Amerika, dalam sejarah perkembangan Amerika terdapat beberapa hal fundamental yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan para ahli-ahli mereka antara lain:
1.Bagaimana seharusnya materi yang diajarkan di sekolah
2.Bagaimana seharusnya pendidikan dibagi/didistribusi
3.Bagaimana seharusnya mendistribusi otoritas pendidikan
4.Siapa yang seharusnya menanggung beban biaya pendidikan
5.Seberapa banyak sumber daya kita yang harus dikerahkan untuk dunia pendidikan.
Dan masih banyak lagi. R.Freeman Butts, pakar dari universitas Columbia dan pengarang banyak buku pendidikan, mengatakan bahwa akar penyebab perdebatan-perdebatan tersebut adalah adanya tiga pemikiran kuat yang berbeda dalam masyarakat Amerika:
1.Pemikiran nilai perekat, menginginkan sistem pendidikan menghasilkan warga negara yang efektif, terpelajar dan bertanggungjawab,
2.Pemikiran nilai-nilai pembeda, menginginkan nilai-nilai (minoritas) mereka terlayani,
3.Pemikiran modernisasi dan globalisasi, menekankan pentingnya membentuk `warga negara dunia’ dalam dunia yang saling berketergantungan, modern dan urban.
Pemanfaatan Sistem Pendidikan dalam Penjajahan
Dalam rangka penjajahan terhadap suatu negara, di mana di sana ada ideologi tertentu (Islam) yang diemban oleh sebagian masyarakatnya, maka pihak kapitalis penjajah akan melakukan serangan pemikiran untuk melemahkan dan melenyapkan ideologi musuh serta memperkuat masuknya ideologi sekuler kapitaliseme di negeri tersebut. Bidang pendidikan telah menjadi andalan mereka untuk memasukkan pemikiran-pemikiran ideologi mereka ke benak umat, sejak sebelum runtuhnya daulah khilafah Turki Usmani – dengan sekolah-sekolah misionaris yang menjadi awal penyebab keruntuhan daulah– sampai sekarang - dalam rangka menghabiskan sisa-sisa ideologi Islam sampai ke akar-akarnya.
Penanaman pemikiran-pemikiran barat ke benak masyarakat dilakukan dengan mendidik putra-putri kaum muslimin yang memiliki potensial dalam institusi-institusi pendidikan mereka, melalui berbagai program beasiswa yang mereka tawarkan, seperti misalnya program beasiswa Fulbright (USA), khususnya dalam bidang ilmu sosial-humaniora, ilmu pemerintahan, ilmu agama, dan ilmu ekonomi.
Orang-orang ini, setelah menyelesaikan pendidikan tingkat tinggi mereka, biasanya berpotensi menduduki posisi-posisi penting di berbagai bidang, dan setelah kembali ke tengah-tengah masyarakatnya akan secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar mempropagandakan dan memperjuangkan pemikiran-pemikiran Barat dan merusak pemikiran-pemikiran Islam di tengah masyarkat.
Mereka juga secara sadar atau tidak sadar menjalankan program-program penjajah Barat, seperti misalnya kelompok Mafia Berkley yang terkenal di jaman orde baru, yang memformat sistem ekonomi Indonesia mengikuti program penjajah. Ketika cengkraman penjajah Barat pada suatu negeri cukup kuat, berikutnya mereka akan mengarahkan sistem pendidikan negara tersebut agar dapat menopang rencana mereka untuk menjajah negeri tersebut, dengan menjadikannya seperti sistem pendidikan dalam sistem sekuler kapitalisme. Dengan itu mereka dapat mencetak pengemban dan pembela-pembela ideologi mereka langsung di negeri jajahan.
Selain itu dengan terbukanya (globalisasi) sistem pendidikan di negara tersebut, maka penjajah akan dapat lebih leluasa mengendalikan sumberdaya manusia di negeri tersebut, termasuk akses terhadap data-data penting sumberdaya alamnya. Termasuk juga menjadikan para ilmuwan di negeri tersebut untuk bekerja bagi kepentingan mereka. Ini dilakukan misalnya dengan memberikan dana bantuan penelitian di bidang-bidang non sains dan teknologi maupun kerjasama-kerjasama langsung antar perguruan tinggi terutama dalam bidang eksplorasi sumber daya alam.
Dalam masalah pendanaan pendidikan, negara terjajah, yang biasanya lemah secara ekonomi, dipaksa agar memperkecil subsidi pendidikan ataupun menghilangkan subsidi negara pada institusi pendidikan milik negara, serta mengubah institusi-institusi pendidikannya menjadi sekedar semacam "perusahaan milik negara". Akibatnya tentu adalah mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Walhasil negara tersebut akan kekurangan sumber daya manusia yang berpendidikan tinggi. Kekurangan SDM berkualitas tinggi ini justru menjadi keuntungan bagi penjajah, karena dengan begitu kebanyakan SDM adalah tenaga teknis maupun tenaga kasar, yang murah dan menguntungkan para pemilik modal.
Penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis serta masuknya pemikiran-pemikiran sekuler kapitalis dalam bidang pendidikan dapat sangat jelas dilihat di Indonesia. Antara lain dalam bidang pendanaan, pemerintah mulai mengubah perguruan tinggi-perguruan tinggi (PT) negeri terkenal menjadi bentuk BHMN dan nantinya BHP, yang memiliki otonomi luas terpisah dari pemiliknya (pemerintah). Dalam masalah dana dari pemerintah (dana hibah maupun dana penelitian), sekarang memperlakukan antara PTS dan PTN secara sama, yaitu memiliki peluang yang sama untuk mendapat dana-dana tersebut. Di bidang kurikulum pun sekarang tidak ada lagi kurikulum nasional, yang akan ada hanya standar-standar kompetensi siswa. Peran lembaga rangking perguruan tinggi asing pun sudah mulai terasa. Keberadaan majelis wali amanat, yang merupakan copy paste dari sistem board of trustee di universitas-universitas Amerika USA, lebih memperjelas pengaruh pemikiran sekuler kapitalis dalam sistem pendidikan tinggi.
Walhasil, dapat kita prediksi bila penjajahan sekuler kapitalisme dalam bidang pendidikan tidak dihentikan, maka gambaran dunia pendidikan di Indonesia akan semakin suram. Akan kita lihat PTS menjadi lebih kuat lebih berkualitas dan lebih dominan dalam dunia pendidikan, disertai dengan munculnya PT-PT swasta asing. Orientasi kurikulum PT akan mengikuti perkembangan pasar. Mahalnya pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) bagi kebanyakan masyarakat. Munculnya sistem pinjaman siswa (student loans) untuk membayar biaya kuliah. Munculnya lembaga akreditasi dan perangkingan swasta. Desentralisasi sistem pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi total (bidang pendanaan maupun akademik) universitas-universitas milik negara. [ ]
Referensi
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000

bahan kuliah p p

Etika Lingkungan Hidup

Etika Lingkungan Hidup

1. Pengantar
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Bahkan jika terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup tersebut, YB Mangunwijaya memandangnya sebagai oposisi atau konflik antara manusia dan alam . Cara pandang dan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya menyangkut mentalitas manusia itu sendiri yang mempertanyakan eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan yang ada ”di atas” materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam.
Pemikiran tersebut mendorong kami untuk memilih dan membahas tema etika lingkungan dalam paparan ini. Pada awal tulisan ini, akan diangkat contoh kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat serta dampak negatif yang ditimbulkannya. Kemudian kami akan membahas apa sebenarnya yang dimaksud dengan etika lingkungan hidup, beberapa pandangan yang mendasari etika lingkugan hidup tersebut. Pembahasan tentang etika lingkungan hidup, kami perdalam dengan mencari simpul-simpul pemikiran dalam sejarah filsafat barat dari Jaman Yunani Kuno sampai Jaman Modern yang memantapkan atau justru menantang etika lingkungan hidup. Selanjutnya kami akan melengkapinya dengan beberapa pada pandangan dan kesadaran baru dalam etika lingkungan yang mendukung perbaikan sikap kita atas lingkungan hidup.
2. Contoh Kasus Kerusakan Lingkungan: Penebangan Hutan di Kalimantan
Penebangan hutan secara ilegal (illegal logging) sebenarnya persoalan klasik bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari, kegiatan tersebut marak dilakukan di sejumlah kawasan hutan dengan diketahui petugas instansi berwenang, aparat dan masyarakat setempat. Meskipun berkali-kali diberitakan bahwa penertiban terus diupayakan, namun penebangan dan perusakan hutan semakin merajalela.
Di kabupaten Ketapang misalnya, sasaran penebangan liar adalah Taman Nasional Gunung Palung ( TNGP ). Sudah sekitar 5 tahun penjarahan itu berlangsung. Sekitar 80 % dari 90.000 ha luas TNGP sudah dirambah para penebang dan mengalami rusak berat. Para penebang yang dibayar untuk memotong pohon itu diperkirakan jumlahnya sebanyak 2000 orang dengan menggunakan motor pemotong chainsaw .
Selain itu di hutan Kapuas Hulu, penebangan hutan liar juga tak kalah mengerikan. Sasaran penebangan adalah pohon-pohon dengan jenis Kayu Ramin, Meranti, Klansau, Mabang, Bedaru, dan jenis Kayu Tengkawang yang termasuk jenis kayu dilindungi. Kayu-kayu gelondongan yang telah ditebang langsung diolah menjadi balok dalam berbagai ukuran antara lain: 24 cm x 24 cm, 12 cm x 12 cm dengan panjang rata-rata 6 meter. Setiap hari jumlah truk yang mengangkut kayu ini ke wilayah Malaysia sekitar 50 –60 truk. Menurut Sekjen “Silva Indonesia”, pengangkutan ini berlangsung siang dan malam dihadapan mata aparat instansi berwenang tanpa ada pemungutan dana reboisasi dan pajak lainnya “.
2.1 Kerugian bidang Ekonomi
Berdasarkan pada perkiraan Prof. Dr. Herujono Hadisuprapto, MSc, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kal-Bar ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan.
Maka sebenarnya sangat ironis jika kerugian ini dihubungkan dengan usaha mati-matian dari pemerintah Indonesia untuk mencari pinjaman dana dari IMF. Ketika pemerintah mengemis pada IMF dana senilai 400 juta $ AS, sebenarnya pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak senilai 4 Milyar $ AS setiap tahunnya akibat penebangan hutan liar sejak 1998.
2.2 Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
Penebangan hutan secara ilegal ini juga menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun lingkungan di sekelilingnya. Secara umum, dampak penebangan hutan menyebabkan: pertama, masalah pemanasan global; kedua, masalah degradasi tanah; dan ketiga, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati di dalamnya.
2.2.1 Masalah pemanasan global
Para ahli memperkirakan bahwa dampak dari pemanasan global akan sangat meningkat bila kelestarian dan keutuhan hutan tidak dipelihara. Ada beberapa akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu. Seperti kasus yang terjadi di Pontianak ( Kalimantan Barat ) dan Nias ( Sumatra Utara ) yang menelan korban materi dan nyawa yang sangat besar. Musim kering yang berkepanjangan juga akan melanda daerah-daerah yang areal hutannya digunduli, bahkan dibakar. Sebagai contoh adalah kebakaran hutan Kalimantan Barat. Resiko yang timbul kemudian adalah banyaknya lahan yang dibiarkan kosong.


2.2.2 Masalah degradasi tanah
Penebangan hutan secara tak terkendali pasti juga menyebabkan degradasi tanah dan berkurangnya kesuburan tanah. Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan produktif yang telah diolah di Indonesia sebanyak 17.665.000 hektar. Sebesar 70 % dari lahan itu adalah lahan kering. Sisanya adalah lahan basah. Akibat penebangan liar yang terjadi banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.
2.2.3 Masalah kepunahan keranekaragaman hayati
Masalah ini cukup mendapat perhatian penting saat ini. Berdasar penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat. Bukan tidak mungkin bahwa tahun-tahun mendatang spesies harimau akan punah. Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2015 dengan penggundulan hutan tropis di Kalimantan akan menyebabkan punahnya 4-8% spesies dan 17,35 % pada tahun 2040.
3. Apa itu Etika Lingkungan ?
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.

Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
3.1 Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
3. 2 Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.
Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
4. Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
4.1 Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
4.1.1 Tantangan Perspektif ekologis
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
4.1.2 Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
4.1.3 Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
4.2 Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove, idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis. Hume yang membagi obyek penelitian dalam “ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
4.3 Menakar sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan
Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak Yunani sampai Modern memang tidak banyak memberi dasar pada Etika Lingkungan, bahkan cenderung berseberangan dalam pandangan terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik dan konsep alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru yang ingin ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi estetis dari materi dan alam yang sedang berubah. Filsafat sosial dan politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini, misalnya pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai guna ketika digunakan oleh negara untuk kepentingannya.
Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan bahwa etika ini telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak didukung oleh tradisi pemikiran sebelumnya. Justru, etika lingkungan ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat yang tidak pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum environmentalis ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai raja atas seluruh ekosistem yang secara menyedihkan telah menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya, dan melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika Lingkungan memberikan sumbangannya dalam seluruh pemikiran filsafat.
5. Pandangan Baru Terhadap Alam
Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain” .
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang bertindak sesuai kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun demikian anak cucu keturunan manusia yang nantinya mendiami bumi ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika kita mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak, sebenarnya kita telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di bumi sekarang ini”. Memang mereka belum mampu melakukan suatu kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama yaitu menjaga alam bagi keturunan mereka.
Mahluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia. Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam. Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui.
Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini diorganisasi dan dipakai bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan egoisme. Sudah sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan berbalik dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir secara jangka panjang dan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri. Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti sumber-sumber alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar sungguh maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan alam. Mungkin kita harus kembali pada pemilihan prioritas mana yang penting, mana yang sekadar berguna, mana yang artifisial dan menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu mendirikan pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
6. Penutup
Evolusi etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan yang salah.
Kunci untuk melepas belenggu evolusi etika lingkungan adalah : Lupakan berpikir tentang penggunakan alam semata-mata sebagai masalah ekonomi. Uji setiap pernyataan sehubungan dengan kelayakan ekonomi dalam terminologi kebenaran etik dan estetis. Sesuatu adalah benar jika mempunyai kecenderungan mempertahankan integritas, stabilitas dan komunitas biotik. Sesuatu adalah salah jika condong ke arah sebaliknya.
Daftar Pustaka
1. Borrong, Robert, Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
2. Hargrove, Eugene C, Foundation of Environmental Ethics, Prentice Hall, New Jersey, 1989
3. Mangunwijaya, YB, Lingkungan Hidup dalam pandangan Timur, makalah Seminar Lingkungan Hidup dan Berbagai Masalahnya, Cibubur, November 1982
4. Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6 Desember 1982
5. Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus 2001
6. VanDeVeer, Donald dan Pierce Christine, People, Penguins, and Plastic Trees, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 1986
Anggota Tim Penyusun
Ardi Handojoseno, AM - Bambang Irawan, P - Damai Wasono - Danang Listyo
Pramono, L - Gading Sianipar, Y- Parwoto, F – Putu Agung Prawira- Saturninus Ndaus
1. Disusun dalam rangka tugas terstruktur mata kuliah Etika, Semester ganjil 2001/2002, STF Dryarkara Jakarta
2. YB. Mangunwijaya, Lingkungan Hidup dalam pandangan Timur, disampaikan dalam Seminar Lingkungan Hidup dan Berbagai Masalahnya di Pusdika Cibubur, 11 – 13 November 1982
3. Sony Keraf, Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas edisi 6 Desember 1982
4. Kompas 5 Agustus 2001, Hutan Konservasi Dihabisi, hal 26
5. Ilmu alam yang menekankan observasi sebenarnya baru muncul setelah lahirnya empirisme. Pada awalnya ilmu alam– terutama Descartes dan Galileo - masih menggunakan metode deduktif geometris dan menolak obeservasi karena ingin mencari prinsip-prinsip dibalik realita. Hargrove, Foundation of Environmental Ethics , p 39
6. Aldo Leopold , People, Penguins, and Plastic Trees, hal 82

Proses Pendidikan di Dunia Islam

Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah amal manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini mengatakan "... kemudian diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah yang akan terbentuk?"

Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan. Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi mereka telah disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendi-sendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan."

Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas balik dalam bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.

Tentang Visi Pendidikan Islam
Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik. Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat membutuhkan sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang disini kelemahan kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian mengarahkannya kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa proses pendidikan adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mungkin ada orang yang berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah Islam. Karena pada hakekatnya ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator) yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu) dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak meributkan kalangan civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2)

Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan pendidikan secara umum, adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan pengajaran.

Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun pembuktian dalam kerja dari bumi).

Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang. Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani mandul dalam memegang perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung lewat lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5)

Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah) berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104. "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya," dan QS Al Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan) dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8)

Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi 'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)

Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator. Dan benar apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid perkataan yang berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)

Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan penguasa?

Tentang Referensi Pendidikan Islam
Kalau poros pendidikan (central reference) hanya terpaku pada kemampuan manusia, sementara kekuatan manusia --baik lahir maupun batin-- nisbi kemana lagi akan disandarkan? Disinilah perlu merujuk kepada konsep penyatuan antara kekuatan 'bayan samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al fikru' dengan sumber 'al dzikru' (Allah Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa alasan (12):

1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam tegaknya nilai-nilai 'insaniyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita. Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah dihancurkan kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa hanya mereka yang membangun ka'bah. Menurut Imam Bukhari hadits-hadits menerjemahkan hadits ini dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena khawatir akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia tentang hal itu, sehingga mereka akan terjerumus pada realita yang lebih membahayakan."

2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu ilmu ada pintu masuknya (ujungnya) dan ada pintu keluarnya ( ekornya). Ini sejalan dengan konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa setiap ilmu ada permulaannya (preambule) yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu dan pengantarnya yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka yang mencari ilmu memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan mulai dari pengantar suatu ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari 'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu juga mencari hakikat sebelum pengantarnya, sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga hakikatnya. Karena sesungguhnya bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan mengharapkan buah tanpa menanam tidak akan menuainya.

3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga jarak dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14) Karena si pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan mengakibatkan kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya tersesat di tengah hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat.

4. Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah menyerap beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan dalam amal, akan membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin seperti filosof yang menolak konsekuensi iman.

5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang menceritakan segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya, sehingga ia kaan ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran perkataannya." (15)

6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al din). Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak rasional. Hal itu sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-tangga ilmiah di masa pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi dalam bukunya Al I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya dari kata-kata hikmah, bahkan kemungkinan besar menjadi fitnah.

7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka lari meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma seseorang. Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan berkata,"Sesungguhnya orang yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia kepada ilmunya dengan diam dan merendah diri, sedang orang yang alim tapi pandir ia akan menjauhkan manusia dari ilmunya dengan memperbanyak igauan dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya."

8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal (praktek). Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan (makruh) mereka jika terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio (akal). Sebagaimana yang dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan bobot logika atas rasio adalah penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais mengatakan, "Kematian seseorang tersembunyi di bawah lidahnya."

Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi itu merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha menciptakan pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal tersebut bertujuan mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional dengan menyatukan unsur-unsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa. Al Qur'an telah memberikan sinyal-sinyal positif bagi para cendekiawan yang berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak masuk dalam kategori ilmuwan (experts) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena keduniaan dengan mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). (lih. QS al Rum:7). Diharapkan juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural (ilmi) dengan supernatural (metafisik). Imam Syafi'i sendiri dalam kisah perjalanan ilmiahnya membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk aktivitas keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya yang universal) dan sepertiga untuk istirahat. Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa Imam Syafi'i sendiri --rahimullah-- menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya pada waktu shalat (16), padahal begitu deras dan tajam ujung pena beliau dalam menghasilkan karya-karya yang monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh semua ulama di dunia Islam.

Kearah Strategi Pengembangan
Keabadian risalah dan penutup kenabian (Khatm al Nubuwah) merupakan jaminan samawi yang memerlukan jaminan ardhi (tindak nyata dari bumi). Maka perputaran roda peradaban tetap berjalan sesuai dengan sunnahnya, meskipun ummat ini mempunyai jaminan samawi bahwa mereka akan memimpin peradaban. Tapi bukankah hal itu juga dengan prasyarat 'in kuntum mukminin?' (penterjemahan nilai-nilai iman dalam segala aspeknya). Aspek kausalitas inilah yang sering dipendam dalam-dalam oleh kita, sambil berbangga bahwa kita mempunyai 'guarantee' dari langit. Dengan demikian pada hakikatnya kitalah yang mempunyai tanggung jawab mengemban konsep nubuwwah (al risalah) dengan segala jaminan yang ada.

Diantara jaminan samawi yang disambung lewat lidah Rasulullah Saw, sebagai stimulus umat ini untuk selalu mengupayakan aktivitas peradaban dan mencapai sebuah kemajuan dan kebangkitan adalah perkataan beliau,"Ummatku tidak berkumpul dalam hal kesesatan." Ia merupakan jaminan tekstual dan praktekal bahwa ummat ini memiliki kemampuan untuk bangkit dan maju. Ini bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Diantara tantangan yang menjadi penyakit dalam tubuh ummat ini adalah lesunya instansi-instansi pendidikan untuk menciptakan kantong-kantong pergerakan ummat saat ini yang sehat dan lemahnya instansi-instansi konvensional untuk membaca setengah bagian lagi dari dimensi kehidupan ini, seperti dimensi ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemampuan untuk membaca sunnah-sunnah sosial yang terbentang luas dalam kejiwaan manusia dan alam ini. Dua kelesuan ini; lesunya memahami wacana alam ( kitab al kaun) dan sosial (al ijtima' al basyari), mempunyai kilas balik terhadap kemampuan membaca al kitab dan al sunnah yang rendah. Inilah yang barangkali membuat perputaran roda ummat ini diluar orbit peradaban dunia saat ini. Dus,ditambah dengan kesalah-pahaman ummat ini terhadap konsep fiqih tentang fardhu kifayah. Penafsiran fardhu kifayah yang telah beredar di kalangan kita adalah 'kalau ada sebagian ummat (orang) yang melaksanakannya maka terlepaslah dosa bagi mereka yang tidak melaksanakan nya,' padahal yang dimaksud dengan 'qama bihi' (melaksanakannya) adalah melaksanakan suatu perintah dengan profesional (sempurna) hingga mencukupi prosentase sosial (kebutuhan sosial) bukan hanya sekedar melaksanakan. (17) Ini diantara hal yang menjadi evaluasi bagi para perancang kurikulum pendidikan yang berprinsip asal jadi. Dengan demikian, dunia pendidikan Islam sangat membutuhkan langkah-langkah strategis untuk menyambut kebangkitan sains dan teknologi di abad ini. Diantara strategi itu (18):

1. Diperlukan kode etik dalam bidang pemikiran Islam dan penge tahuan Islam yang disandarkan pada konsep-konsep Al Qur'an. Dan dipahami dengan bahasa Arab sebagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama. Poin ini sangat urgen untuk mengantarkan kaum muslimin unutk mencapai produk-produk teknologi yang pernah dicapainya pada abad pertengahan. Ini bukan berarti kita ingin bernostalgia dengan kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan adalah metode pemikiran Islam yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola pikir yang tunggal material-oriented dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi. Konsekuensinya, menuntut dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan teknologi menurut visi Islam dalam kurikulum pendidikan Islam konvensional, baik disekolah-sekolah pemula atau perguruan tinggi dengan menanamkan persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam.

Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan teknologi) juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial visi Islam. Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara dua metode pengajaran ; yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i.

2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada hakekatnya ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukum-hukumnya merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan ilmu dan teknologi Islam modern. Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas politik, chauvisme sosial dan segala tindakan diktator dan otoriter pen guasa mengakibatkan fenomena 'brain-drain' (pemerasan kekuatan intelektualitas), disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan basis-basis teknologi dan pemikiran suatu bangsa. Diantara syarat-syarat yang sangat mendukung ke arah pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah memberantas rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul insan, menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka kran-kran kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik dan pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup kemungkinan karena didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu.

3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin, baik instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan semua kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan sains dan teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek Islam.

4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat urgen untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim mampu menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga sangat diperlukan penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan internasional.

5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan penemuan ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim yang profesional. Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut sangat penting karena merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan meletakkan petunjuk pelaksanaan kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan sesuai dengan prioritas kerja yang dibutuhkan. Begitu juga diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka yang berbakat dan berprestasi. Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang dalam bahwa dunia Islam saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan Peradaban Islam yang baru.

6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para petualang intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik mereka itu menjadi penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim atau bukan. Demi memenuhi kebutuhan keperluan proyek pembangunan, kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan menempatkan mereka pada posisi atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan gaji yang sesuai dengan status ilmiahnya.

7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan profesionalis muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat Islam ini yang minim para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa pentingnya peran para utusan Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat itu.

Penutup
Memahami dan menangkap suatu pesan dengan benar adalah nikmat yang terbesar yang diberikan Allah Swt pada hambanya. Bahkan tidak ada suatu nikmat yang lebih utama, setelah Islam yang Allah Swt berikan kepada hambanya daripada nikmat 'al fahmu al shalih', bahkan kedua-duanya merupakan soko-guru Islam (19). Permasalahan pendidikan di dunia Islam sangatlah kompleks. Ia memerlukan pemetaan kerja kembali secara arif dan bijak. Penyatuan konsep orisinalitas dan kontemporer merupakan jalan yang baik. Selain juga membutuhkan skala prioritas kerja yang selaras, serasi dan seimbang sejalan dengan semangat Islam. Tulisan ini tentunya belum mewakili sepenuhnya untuk mengobati kelesuan dunia pendidikan Islam dalam mencapai kemajuan dan kebangkitan yang kita harapkan. Namun penulis berdo'a semoga Allah Swt menggugah para hamba -Nya yang berkompeten dalam masalah ini untuk lebih jauh melangkah ke depan demi kejayaan ummat Islam. Amien

Catatan kaki
1. Umar Abid Hasanah, Murajaat fi al fikri wa al da'wah wa al hadharah, IIIT,Cet I 1991, hal.53-54.

2. Ibid, Cet I, hal 56

3. Ibid

4. Ibid, Cet I, hal 57

5. Dr. Yusuf Qardhawi, Al Rasul wa al Ilm, Cairo, Dar al Shahwah, hal 13.

6. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi: "Janganlah seseorang diantara kamu menjadi orang yang oportunis yang mengatakan, 'Diriku tergantung pada manusia,jika mereka baik maka baiklah saya dan jika mereka rusak maka rusaklah saya.'"

7. Lih. Shahih Bukhari, fath al Bari, Cet Al Halaby, Juz I, hal 169.

8. Dr. Yusuf Qardhawy, Op. Cit, hal.17

9. Sayyid Qutb, MA'alim fi al Thariq, Cairo, Daar al Syuruq, Cet XV, 1992, hal 143

10. Ibnu Taimiyah, Al Fatawa: Qital ahli al baghy, vol.35, hal.20

11. Umar Abid Hasanah, Op.Cit.,hal.77

12. Dr. Adil al Syuaikh, Rabbaniya al Ta'lim, Dar al Basyir, Tanta, Cet III, 1999, hal 13-19.

13. Imam Mawardi, Adab al Dunya wa al din, hal 55

14. lih. Al Ghazali, Ihya ulum al din, Al Manshurah, Dar Fayadh, Vol.1.

15. Lih. Shahih Muslim bi syarh al Nawawy, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1998, hal.110

16. lih. Al Ghazali, Op.Cit, hal 71

17. Umar Abid Hasanah, Op.Cit, hal 80

18. Dr Sayyid Waqqar al Husain, Al Siyasat al Ilmiah wa al Teknologia 'inda al Muslimin Durus wa Ibar, 'Amman, Maktabah al Durar, Cet. I, 1998, hal.37-41

19. Ibnu Qayyim al Jauziyah, I'lam al Muwaqi'in, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1997,hal.86
sumber: Budiman Musthopa, Lc.