Kamis, 14 Mei 2009

Kritik terhadap Gagasan “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia(Merujuk kepada Pemikiran Nurcholish Majid)

Istilah “pembaharuan Pemikiran Islam” diIndonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan sikap “keterbukaan” dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa “kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik”.[1] Untuk menangkap gagasan awal pembaruan pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya, apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah “pembaharuan”.

I. Gagasan awal
Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.[2] Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:

A. Kondisi Ummat Islam
Ketika NM mengungkapkan gagasan “pembaruannya” itu ummat Islam
Indonesia baru melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap “membahayakan” tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:

ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!” Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi.[3]
Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka. Terbukti pada era reformasi dimana bangsa
Indonesia mengenyam euforia kebebasan berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi. Tapi perkembangan yang terjadi justru “Islam Yes Partai Islam Yes”. Ini berarti umat Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.
Nampaknya NM ingin mengalihkan konsentrasi perjuangan umat Islam agar tidak melulu kepada perjuangan partai politik. Caranya dengan melontarkan kritik bahwa “Ide-ide dan pemikiran Islam [yang diperjuangkan partai politik Islam] itu sekarang sedang memfosil dan menjadi usang, kehilangan dinamika”. Respon ummat waktu itu, sudah tentu, dibarengi oleh sikap curiga bahwa gagasan NM ini membawa misi de-politisasi umat Islam. Pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka, waktu itu, boleh jadi mengapa sasarannya partai politik Islam dan bukan ide dan pemikiran? Dan kini lebih tegas lagi benarkah partai politik tidak layak menjadi kendaraan untuk memperjuangkan ide-ide dan pemikiran Islam? Lalu mengapa NM pada era reformasi mencari partai politik Islam guna kendaraan menuju Presiden? Pertanyaan-pertanyaan itu hingga kini belum mendapat penjelasan dari NM.
Selain kondisi politik NM juga menyoroti kondisi pemikiran umat Islam. Dalam hal ini ia mengidentifikasi problem umat Islam kedalam 2 hal:
1. Umat Islam
Indonesia sekarang ini ….lebih mementingkan jumlah daripada mutu atau kuantitas daripada kualitas”.
2. Kelumpuhan ummat Islam akhir-akhir ini disebabkan, antara lain, oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya.[4]
Yang pertama tidak ada penjelasannya, namun nampaknya masih dalam konteks dan bahasa politik. Yang kedua mengasumsikan kondisi umat Islam yang tertutup untuk menerima perubahan. Namun sayang, NM tidak memberi penjelasan secara lebih rinci atau contoh kongkrit dari dua variable kondisi pemikiran umat Islam tersebut. Karena gambaran kondisi yang seperti itulah maka NM mengidamkan terjadinya dinamisme dalam tubuh umat Islam. Dinamisme itu menurutnya tercipta dengan pembaharuan ide-ide. Ia kemudian mengutip kata-kata Vladimir Ilich (1870-1924) “tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner”.
Disini NM terinspirasi untuk mengemukakan ide-ide atau teori-teori yang revolusionernya. Padahal suatu ide atau pemikiran tidak serta merta menghasilkan tindakan, penanaman pemikiran baru memerlukan waktu yang tidak sebentar.

B. Gagasan Pembaruan dan liberalisasi
Karena kecenderunganya yang revelusioner itu maka pendekatan dan oritentasi pembaharuan yang dicanangkan NM akhirnya tidak berpijak pada tradisi intelektual Islam. Ia menyatakan :

Pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lain erat hubunganya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[5]
Apa yang ia maksud dengan “nilai-nilai tradisional” adalah orientasi kemasa lampau dan bernostalgia yang berlebihan. NM menghendaki agar oritentasi ke masa lampau itu dilepaskan atau dihilangkan. Namun ia tidak memberi alternatif apa pijakan kita untuk memahami Islam jika tanpa melihat masa lampau? Disini pendekatan NM jelas bertentangan dengan motto pesantren yang berbunyi “a-muhafazatu ala al-qadim al-salih wa al-akhdhu bi al-jadid al-aslah“, (menjaga [tradisi] lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kemudian maksud dari kata-kata “berorientasi ke masa depan” ternyata adalah liberalisasi dan obyek yang diliberalkan itu adalah “ajaran-ajaran Islam”, bukan nilai-nilai tradisional yang disebutkan sebelumnya. Ia dengan jelas menyatakan

Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan pada ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang. Proses itu menyangkut proses lainnya.[6]
Dari kutipan diatas sebenarnya ia telah meletakkan ajaran Islam sebagai obyek dari liberalisasi. Liberalisasi yang dimaksud disini, seperti yang akan dinyatakan kemudian tidak merujuk kepada konsep Islam, tapi Barat. Dan ternyata benar bahwa diantara proses liberalisasi itu itu adalah sekularisasi Sekularisasi adalah “menduniawikan (temporalizing) nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.”[7] Sekularisasi dimaksudkan “untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya diatas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan itu di hadapan Tuhan”.

Jadi gagasan pertama pembaruan NM adalah liberalisasi, oleh sebab itu konsepnya berbeda dari tajdid. [8] Poinnya masih senafas dengan sekularisme yaitu dichotomic, artinya memisahkan masalah dunia dan akherat. Alasannya yang digunakan adalah agar manusia dalam kehidupannya di dunia bebas memilih, dan tetap bertanggung jawab kepada Tuhan. Sepintas nampak adanya integrasi antara hubungan manusia-dunia dan manusia Tuhan. Namun pada baris-baris berikutnya ia menyatakan bahwa sekularisasi adalah “desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah yaitu dunia”. Ini sejatinya tidak berbeda dari semangat modernisme yang programnya adalah menghilangkan spiritualisme dan menggantinya dengan rasionalisme. Maka dari itu dalam pernyataan selanjutnya NM menegaskan bahwa :

Obyek proses deskralisasi itu ialah segala sesuatu yang bersifat duniawi, baik moral maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material adalah benda-benda.[9]

Pandangan NM ini berarti mereduksi nilai-nilai moral dan benda-benda dari yang bersifat trasenden dan sakral (sacred) menjadi profan. Implikasinya, segala nilai dan benda di dunia ini tidak ada yang sakral. Pemisahan ini menjadi rancu dengan pernyataaan NM kemudian bahwa

Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam mengenai hubungan antara alam dan Tuhan itu ibarat sebuah tubuh dengan kepala diatas dan kaki dibawah. ….Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti ajaran materialisme”.[10]
Nampaknya terdapat kerancuan antara pernyataan diatas dengan gagasan sekularisasi.
Jika NM berfikir konsisten dan konseptual maka seharusnya ia berpendapat bahwa aqidah (teologi) merupakan asas bagi ilmu (epistemologi), iman sebagai asas bagi pandangan pada alam. Artinya pandangan seorang Muslim tentang dunia harus berdimensi akherat. Karena itu Muslim tetap memandang dunia ini sebagai makhluk yang diperlakukan secara sakral, dalam artian ukuran keakheratan. Tapi, seperti dinyatakan di awal, NM justru ingin menghilangkan aspek ukhrawi, aspek teologi dalam kehidupan dunia. Disamping konsepnya rancu, istilahnya membingungkan. Mungkin karena kerancuan ini barangkali NM kemudian menarik penggunaan istilah sekularisasi.

C. Kebebasan Berfikir
Sejalan dengan gagasan pembaharuan dengan liberalisasi pemikiran maka NM mencanangkan gagasan kebebasan berfikir. Disini ia merujuk Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang liberal. Ini tidak benar. Motto kebebasan berfikir di Gontor merujuk kepada pengertian Islam, dan tidak kepada pengertian liberal. Dalam motto itu syarat untuk bisa befikiran bebas adalah akhlaq mulia (berbudi tinggi), badan yang sehat dan ilmu yang tinggi (berpengatahuan luas). Tanpa akhlaq dan pengetahuan kebebasan akan menjadi liar. Bebas dalam pengertian Gontor tidak sampai kepada pemikiran yang meninggalkan tradisi atau yang mempersoalkan masalah-masalah usul. Kebebasan yang dimaksud Gontor adalah kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik berdasarkan ilmu. Jika seseorang tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang baik dan buruk, ia tidak bebas memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar, artinya memilih yang khayr (baik).[11] Jadi bebas dalam batas-batas pengetahuan Islam yang dapat dipertanggung jawabkan.
Nampaknya kebebasan berfikir yang dimaksud NM adalah kebebasan berfikir yang liberal, yaitu bebas tanpa batas. Sebab ia mengutip pedapat hakim Amerika O.W.Holmes yang menyatakan bahwa “kebebasan berfikir adalah perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)”. Ini yang ia sebut dengan intellectual freedom. Masalahnya apakah kebebasan berfikir seperti ini dapat diterima sebagai masih dalam batas-batas nilai keislaman.
Karena ketiadaan kebebasan berfikir yang seperti itulah maka kemudian NM menyimpulkan Pertama “tidak adanya pikiran-pikiran yang segar yang disebut sebagai psychological striking force (daya dobrak psikologis). Kedua, “tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial.” Dan sebagai akibat akhirnya “umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi ini”.

Disini NM menggunakan shock therapy untuk mendobrak pemikiran umat Islam yang dianggapnya “memfosil” itu. Untuk itu NM menginginkan suatu lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang. Namun, apa dan bagaimana bentuk badan tersebut? Apakah universitas, lembaga penelitian atau forum kajian, tidak ada gambaran dan konsep yang pasti disini. Adapun “pikiran-pikiran yang segar” yang dia maksudkan adalah pikiran yang berdasarkan Islam yang

disesuaikan, dipersegar, diperbaharui dan diorganisasikan (dikoordniasikan), sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.[12]
Sepintas obsesi NM untuk menjadikan pemikiran Islam sejalan dengan kenyataan zaman sekarang adalah positif. Yaitu dengan menterjemahkan konsep-konsep penting dalam Islam secara kreatif dan innovatif. Namun dari contoh yang dikemukakan ternyata maksudnya adalah menjustifikasi konsep-konsep Barat yang sesuai atau hampir sesuai dengan konsep Islam. Contohnya menjustifikasi demokrasi sebagai sama dengan syura dalam Islam. Tentunya ini tidak sejalan dengan obsesi dan perjuangan umat Islam dimanapun untuk menjadikan pemikiran masyarakat Muslim zaman sekarang - yang dihegemoni oleh peradaban Barat itu - sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pikiran NM hanya berdasarkan sebuah asumsi bahwa hirarki nilai-nilai ukhrawi dan duniawi dalam pikiran umat Islam itu kacau.[13] Padahal yang ia maksud “kacau” adalah karena tidak sejalan dengan gagasan sekularisasinya yaitu bercampurnya orientasi duniawi dan ukhrawi umat Islam.

D. Sikap keterbukaan dan idea of progress
Sesudah menggagas kebebasan berfikir NM menyampaikan perlunya sikap terbuka. Makna keterbukaan disini adalah terbuka menerima ide-ide dari luar Islam (baca: Barat) asalkan mengandung kebenaran. Untuk menjustifikasi ini ia menggunakan ayat al-Qur’an “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu megikut apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah yang diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Al-Zumar 18). Namun sekali lagi proses keilmuan bagaimana Islam menerima ide-ide dari luar, tidak dijelaskan. Ia malah menyatakan bahwa
..kita harus bersedia medengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum yang seluas mungkin, kemudian memilih diantaranya mana yang menurut ukuran-ukuran obyektif, mengandung kebenaran.[14]
Karena tidak menyebut proses keilmuan yang jelas maka kerancuannya segera nampak, bahwa ukuran penerimaan dan penolakan ide-ide asing adalah adalah “obyektifitas”. Obyektifitas dalam pengertian Barat bertentangan dengan subyektifitas. Kebenaran obyektif adalah kebenaran yang ditentukan menurut ukuran-ukuran sosial. Jadi ukurannya bukan kebenaran menurut al-Qur’an atau menurut Islam. Seakan-akan Islam tidak memiliki standar atau ukuran kebenaran.


Nampaknya NM gagal melihat Islam sebagai agama yang memiliki konsep-konsep keilmuan yang kemudian dapat berkembang menjadi peradaban yang spektakuler. Inilah sebabnya mengapa ia menggagas sikap terbuka menerima ide-ide asing. Islam dipersepsi sebagai tidak memiliki ide yang setanding dengan ide-ide asing, khususnya Barat. Itulah sebabnya pula mengapa NM memiliki gagasan untuk melepaskan nilai-nilai tradisional. Kegagalan ini tercermin dalam pernyataan dibawah ini:

Umat Islam keluar dari jazirah
Arabia tidak mempunyai apa-apa kecuali iman yang teguh yang memancar dari al-Qur’an dan sunnah. Di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, mereka menemukan warisan-warisan manusiawi, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (
Persia). Kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari
padang pasir jazirah Arab dan menjadikannya milik sendiri. Bukankah itu yang kemudian melahirkan apa yag kita keal sekarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang kita banggakan?”
Kutipan diatas menunjukkan dua pendirian, pertama bahwa NM mengingkari kenyataan sejarah bahwa ketika umat Islam keluar dari jazirah
Arabia mereka telah memiliki memiliki konsep-konsep keilmuan yang berasal dari al-Qur’an dan Hadith. Konsep-konsep Muslim mengenai Tuhan, alam, manusia, kehidupan, akhlak, ilmu dsb. telah ada sebelum mereka keluar jazirah
Arabia. Bahkan konsep-konsep teknis keilmuan seperti ‘ilm, ta’lim, ijtihad, fiqh, tafaqquh, tafsir, riwayah, ma’rifah dsb. telah mereka miliki sejak zaman madrasah al-Suffah. Kedua NM memandang Islam hanya memilik modal iman dan prinsip-prinisip
padang pasir. Islam menjadi peradaban hanya ketika menemukan warisan-warisan asing.
Kesimpulannya NM tidak memandang Islam sebagai agama dan peradaban. Ia menyatakan:

jika memang Islam itu bukan kebudayaan, dan bukan pula peradaban, melainkan dasar dari kebudayaan itu, kemanakah hendaknya dicari bahan-bahan kebudayaan dan peradaban Islam untuk membangunnya, jika tidak diseluruh muka bumi yang berupa warisan-warisan kemanusiaan yang universal.[15]
Jadi jelas bahwa Islam bagi NM adalah kekuatan “iman dan prinsip
padang pasir”. Ini sebenarnya adalah titik kelemahan gagasan pembaharuan yang dicanangkannya itu. Sebab persoalannya bukan sekedar terbuka atau tidak terhadap ide-ide asing atau warisan-warisan kemanusiaan. Persoalanya adalah bagaimana proses keilmuan (epistemologis) untuk mengambil ide-ide asing itu? Bagaimana seorang Muslim menguji kesesuaian sebuah konsep asing dengan konsep Islam dan kemudian mengambil atau menolaknya? Masalah belum selesai sampai disini, bagaimana Muslim akan menguji konsep-konsep asing jika konsep-konsep dalam Islam itu belum terbangun secara kokoh. Ini barangkali karena NM gagal menggambarkan Islam sebagai sistim pemikiran atau sistim konsep, Islam hanya sebuah keimanan.

Karena kelemahan epistemologis itulah maka tolok ukur yang digunakan NM untuk mengambil atau menjustifikasi konsep-konsep asing adalah obyektifitas. Kalau hanya sekedar obyektifitas, bagaimana Muslim harus mengukur obyektifitas kebenaran wahyu. Pada halaman yang sama NM mengganti ukuran obyektifitas menjadi “ukuran-ukuran prinsip Islam”. Tapi bagaimana bangunan keilmuan dari ‘prinsip-prinsip Islam” itu juga tidak jelas benar. Ternyata prinsip-prinsip itu digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi pemikiran Barat yang terbaik, seperti demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme dsb.


Pandangan-pandangan NM diatas dipertegas lagi pada pidatonya pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia. Dalam teks pidatonya ia menegaskan bahwa “….dimensi kehidupan duniawi yang material itu adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi yang spiritual adalah iman.” Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa “Iman tumbuh dan berkembang dengan bertitik tolak pada wahyu, sedangkan ilmu tumbuh dan berkembang karena rasionalitas. Karena perbedaan dimensi itu pendekatan kepada salah satunya dapat dilakukan dengan mengabaikan dimensi yang lainnya.”

Penegasan diatas menunjukkan bahwa pendekatan dichotomis atau sekularistis NM nampak sangat menonjol. Karena berpendapat bahwa ilmu tidak tumbuh dari wahyu bisa berimplikasi bahwa aqidah Islam itu memiliki dimensi keilmuan yang rasional. Akhirnya bisa membawa kesimpulan bahwa wahyu tidak menjamin perkembangan ilmu. Padahal al-Ghazzali tegas menyatakan bahwa “kebanyakan ilmu wahyu itu rasional dan kebanyakan ilmu rasional itu religious.”[16] Demikian pula ketika mengatakan bahwa dimensi kehidupan materi adalah ilmu, nampak sejalan dengan spirit modernisme yaitu penafian dimensi spiritual dalam urusan dunia.

F. Konsep Islam sebagai al-Din
NM mengkritik orang-orang yang mencoba menggunakan identitas Islam sebagai al-Din. Ini menurutnya adalah sikap apologetik. Sebab Din juga dipakai untuk menyatakan agama lain, termasuk agama syirknya orang-orang Quraisy Makkah. Karena itu ia menyimpulkan bahwa al-Din adalah agama seperti agama-agama lain.


Keengganan NM menggunakan konsep al-Din karena tiga alasan 1) akan melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter. 2) akan berpendirian bahwa selain menggarap bidang spiritual Islam juga menangani bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik, sosial dsb. tidak kalah dengan Barat. 3) akan berfikir serba legalistik terhadap Islam, artinya Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum, sehingga menimbulkan sikap fikihisme. “Fikih telah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern dalam segala aspeknya, memerlukan pengetahuan menyeluruh mengenai kehidupan modern dengan segala aspeknya, sehingga tidak hanya melihat kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang untuk mengatur kehidupan bersama”. [17]

Benar istilah al-Din dapat digunakan untuk agama lain, tapi pengertian al-Din untuk Islam dan al-Din untuk yang bukan Islam sangat berbeda. Ahli bahasa al-Jurjani mengartikan al-Din sebagai institusi ilahi yang mengajak orang-orang yang berfikir untuk menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah.[18] Al-Baijuri menyatakan al-Din adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah melalui lisan Nabi.[19] Al-Tahanawi juga menyatakan bahwa al-Din adalah institusi ilahi yang membimbing kaum berfikir untuk menganutnya agar mencapai kesejahteraan batin (al-salah fi al-hal) dan keuntungan harta (al-falah fi al-mal).[20]

Definisi-definisi al-Din diatas adalah definisi khusus untuk al-Din yang bersumber dari Allah, yaitu al-Din al-Haqq. Maka dari itu istilah al-Din yang digunakan untuk agama dan kepercayaan lain berbeda dari makna al-Din diatas. Prof. Rouf Syalabi dan Mustafa Abd al-Raziq juga berpendapat bahwa al-Din dapat diartikan dalam dua pengertian al-Din al-Haqq dan al-Din al-Batil. Seperti dikatakan Mustafa Abd al-Raziq bahwa :

Meskipun al-Qur’an menggunakan istilah al-din dengan pengertian yang komprehensif (shamil), yang memasukkan pengertian kepercayaan-kepercayaan orang musyrik sebagai Din [seperti lakum dinukum wa liya din) sesungguhnya al-Qur'an telah menetapkan bahwa dalam agama itu terdapat usul (fondasi) yang dalam pengertian itu terkandung makna syariat khusus bagi agama tersebut."[21]
Jadi al-Din tetap merupakan suatu institusi yang memiliki sistimnya sendiri. Dalam kaitannya dengan Islam adalah pengakuan dan kepercayaan terhadap apa yang diturunkan Allah dan mengambilnya sebagai pandangan hidup (manhaj al-hayat). Sedangkan dalam kaitannya dengan agama lain al-Din adalah apa yang dipercayai manusia dan dijadikannya pedoman hidup ilmiyah maupun amaliyah.[22] Jadi tidak salah jika umat Islam menggunakan konsep al-Din untuk memahami agamanya. Dan karena al-Din yang dilabelkan kepada Islam adalah agama yang lurus, al-Din al-Qayyim, tentu berbeda dari makna al-Din yang dilabelkan kepada musyrik Arab. Demikian pula al-Din untuk Islam telah disempurnakan sehingga menjadi kamil yang jelas beda dibanding al-Din yang lain.

Selanjutnya, ketiga alasan NM menolak penggunaan al-Din untuk Islam tidak memiliki dasar yang kuat. Alasan pertama lebih merupakan kekhawatiran politis yang berlebihan.
Sepertinya NM diliputi rasa ketakutan jika Islam berubah menjadi ideologi yang kuat. Alasan kedua masih relevan dengan asumsi D diatas yang berkenaan dengan konsepnya tentang Islam. Baginya Islam bukan sistim pemikiran, maka dari itu tidak heran jika NM berpendirian bahwa membangun dan mempercayai adanya bangunan politik, ekonomi dan sosial Islam adalah sikap apologetik. Alasan ketiga juga berlebihan, sebab pemahamannya terhadap makna Fikih terlalu sempit, sehingga ia menganggap Fikih itu hukum-hukum ijtihadiyah saja dan tidak relevan lagi dengan pola kehidupan zaman sekarang. Padahal salat, puasa, zakat, haji, nikah, waris dsb adalah Fikih yang sangat diperlukan dan sangat relevan untuk kehidupan sekarang. Selain itu obsesinya untuk melahirkan hukum yang bukan hukum Islam tapi yang mengatur orang selain Islam adalah angan-angan belaka. Masalahnya, siapa yang akan menyusun hukum itu dan apa asas untuk penyusunannya jika bukan Islam. Jika hukum itu bukan hukum Islam maka bukan Islam yang rahmatan lil alamin, tapi orang-orang non-Muslim.

Dari uraian diatas maka kita dapat menangkap pokok pikiran NM dan konsep “pembaruan” pemikiran Islam yang ditawarkannya 37 tahun yang lalu. Karena ide-ide yang dilontarkan pertama kali di Taman Ismail Marzuki itu tidak teroragnisir dengan baik dan kurang coherent, maka saya coba organisasikan kedalam
lima poin dibawah ini:

1. Bahwa Islam bukan peradaban tapi dasar peradaban, dan bukan pula al-Din yang berarti struktur dan kumpulan hukum yang totaliter. Pemikiran umat Islam hanya berorientasi pada fikih, mengutamakan kuantitas, tidak dinamis dan memfosil. Karena itu harus dipebaharui.
2. Strategi penyebaran ide-ide pembaruan adalah shock therapy dan penyebaran ide-ide yang revolusioner.
3. Proses untuk itu adalah liberalisasi dalam bentuk sekularisasi terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yaitu dengan a) Melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. b) Menyesuaikan, mempersegar, memperbarui dan mengorganisasikan ide-ide Islam sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang, c) dengan mengembangkan keterbukaan terhadap konsep-konsep asing dengan ukuran-ukuran kebenaran obyektif.
4. Sarananya untuk melakukan liberalisasi adalah lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang.

Apa yang disampaikan dalam pidato tersebut, seperti diakuinya sendiri, tidak pernah berubah. Namun dibawah ini akan kita lihat apakah gagasannya itu telah sepenuhnya berhasil diaplikasikan kedalam pemikiran Islam di Indonesia. Jika sudah, perlu sejauh manakah perbedaan antara gagasan asli dan aplikasi gagasan itu.

II. Aplikasi gagasan
Sebenarnya aplikasi sebuah pembaruan pemikiran dan efektifitasnya tidak dapat dilihat secara empiris. Karena ia adalah berbentuk pemikiran maka yang perlu diuji adalah gejala pemikiran yang terdapat di masyarakat. Lebih jelasnya karena gagasannya adalah liberalisasi dan sekularisasi ajaran Islam maka yang perlu diuji adalahj apakah terdapat gejala liberalisasi dan sekularisasi dalam cara berfikir masyarakat saat ini. Pengujian akan merujuk kepada keempat gagasan diatas yang akan direduksi menjadi tiga (3) poin penting. Untuk itu akan dibahas pertama strategi pelaksanaan pembaruan pemikiran dan kedua aplikasi “pembaharuan”nya terhadap makna Islam yang telah dipahami secara liberal dan sekuler itu; dan ketiga praktek liberalisasi dan sekularisasi pemikiran yang dilakukan NM sepanjang 36 tahun, yang tercermin dari magnum opusnya.


A. Strategi penyebaran

Ide-ide NM pada awal mulanya tersebar melalui media masa, sehingga diikuti oleh masyarakat terpelajar perkotaan. Organisasi HMI yang pernah dipimpinnya menjadi sarans efektif untuk penyebaran ide-idenya itu. Namun, sejatinya NM sendiri mengidamkan adanya suatu lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang. Untuk merealisir cita-cita ini sepulang dari
Amerika NM mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina yang didalamnya diadakan kajian agama yang dinamakan KKA (Kelompok Kajian Agama).[23] Kegiatan kelompok ini mendapat respon yang cukup luas dikalangan masyarakat metropolitasn
Jakarta. Dan menurut pengakuan Fachry Ali NM berhasil membentuk komunitas intelektual yang meneruskan ide-ide NM. Diantara tanda-tanda hidupnya komunitas itu adalah terbitnya jurnal ilmiyah Studia Islamika di Ciputat dan buku-buku yang dikarang oleh anggota komunitas itu.[24] Namun, ide-ide NM yang mendapat penekanan hanyalah pemahaman Islam yang terbuka, universal dan toleran alias rahmatan lil alamin - seperti yang akan disebutkan pada poin II.B. Apa yang dikatakan NM dalam pidato di TIM tahun 1972 “untuk merespon tantangan ekonomi, sosial dan politik” tidak merupakan prioritas kegiatan komunitas intelektual tersebut. Tidak terdengar misalnya suatu teori baru tentang ekonomi Islam, pendidikan Islam yang bersifat terbuka, universal dan rahmatan lil alamin. Tidak pula muncul dari kalangan ini suatu teori politik Islam yang baru. Salah satu kegiatan komunitas ilmiyah (scientific community) semestinya menciptakan struktur konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Tapi sejauh ini saya gagal melihat hal ini muncul dari dalam komunitas pembaharuan pemikiran Islam.

Kesimpulan ini diperkuat oleh fakta ketika NM mendirikan Universitas Paramadina. Sudah tentu universitas ini adalah Universitas Islam, bukan universitas sekuler. Sebelum mendirikan universitas ini NM (dalam Orasi Ilmiyah di ISID Gontor tahun 1992) menolak jika IAIN dijadikan universitas. Alasannya karena disitu Fakultas Agama Islam hanya akan menjadi salah satu dari fakultas-fakultas umum. Tapi ketika NM mendirikan Universitas Paramadian ia melakukan sesuatu yang dikritiknya itu. Universitas Paramadina ternyata memiliki fakultas-fakultas sekuler dan satu fakultas agama. Disitu lagi-lagi tidak terdengar pula respon-respon Islam terhadap masalah ekonomi, sosial dan politik dalam bentuk konsep-konsep baru yang diderivasi dari ajaran-ajaran Islam dan respon terhadap konsep-konsep Barat. Gagasan liberalisasi dan sekularisasi pemahaman keagamaan NM tidak tercermin dalam lembaga universitas Paramadina.
Yang justru terdengan santer dan menjadi major concept NM adalah pengembangan paham pluralisme agama. Sekolah yang rencananya akan menjadi underbow Paramadina di desain sebagai sekolah untuk murid-murid semua agama dan didalamnya diajarkan ajaran semua agama. Namun, karena sesuatu alasan yang prinsip sekolah inipun ditutup.
Selain itu, keterlibatan NM dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Sensor Film, di IAIN dan di lembaga-lembaga lain tidak membawa konsep-konsep keilmuan baru. Padahal masyarakat intelektual saat itu sangat membutuhkan konsep dan teori baru dalam bidang penelitian ilmiyah, politik, eknomi, kebudayaan, manajemen, sains, pendidikan. Kesadaran umat Islam untuk membentuk sistim perekonomian mereka bukan produk dari proses liberalisasi dan sekularisasi NM, bukan pula menggunakan konsep yang dihasilkan oleh komunitas ini.

B. Pembaruan Pemahaman
Apa yang fundamental dalam pembaruan pemikiran adalah pembaruan makna-makna, atau pengungkapan kembali ajaran Islam dengan makna-makna baru.
Disini NM menawarkan makna Islam dan Allah.

a) Pemahaman Makna Islam
Menurut NM Islam selain berarti agama Islam, juga dapat diartikan “agama pasrah kepada Allah” atau “berserah diri”. Ide ini hasil rujukannya terhadap terjemahan al-Qur’an Muhammad Asad dan A.Yusuf Ali. Jadi ayat yang berbunyi “inna al-din ‘inda Allah al-Islam” (Al imran 19), menurutnya bisa diterjemahkan menjadi “Sesungguhnya kepatuhan bagi Allah ialah sikap pasrah [kepadaNya]. Ia kemudian merujuk terjemahan Muhamad Asad “Behold, the only [true] religion in the sight of God is [man's] self surrender unto Him“. Juga merujuk A Yusuf Ali “The religion before God is Islam [submission to His Will]. [25] Pemaknaan ini juga ditrapkan pada ayat lain “wa man yabtaghi ghayr al-Islam dina fala yuqbal minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin” (Ali Imran 85). Artinya “Dan barangsiapa mengikuti agama selain sikap pasrah kepada Tuhan maka ia tidak tidak akan diterima….”
Yang tidak diterangkan NM disini adalah etymologi al-Islam sendiri sebagai nama agama, padahal ia menyatakan Islam itu nama agama dan sikap berserah diri. Ia tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Islam adalah nama agama yang mengandung makna berserah diri. Ia lebih menitik berartkan pada memaknai berserah diri. Kemudian ia menyimpulkan bahwa sikap berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan itu yang menjadi inti dan hakekat agama dan keagamaan yang benar. Akibatnya makna Islam sebagai nama agama menjadi kabur.

b) Pemahaman Makna Allah
Sebelum itu, dalam mukaddimah buku Islam, Doktrin dan Peradaban, dan juga diberbagai tempat[26] NM menganggap Allah bukan nama Tuhan, tapi ism Ilah yang diberi prefix alif lam (al-) menjadi al-Lah atau Allah [27] yang berarti “Tuhan yang sebenarnya itu”. NM mengklain bahwa pendapat ini adalah pendapat yang “menurut banyak ahli”, tapi ia tidak menyebutkan rujukan. Padahal pada halaman 76 ia merujuk al-Faruqi bahwa nama Allah itu telah digunakan sejak zaman jahiliyyah sebagai dewa air, pencipta semuanya, penguasa langit dan bumi, tapi tugasnya diambil oleh dewa-dewi selainNya.[28] Disamping itu ia merujuk pula kepada al-Mu’jam al-Mufahras, namun argumentasi kebahasaannya didalamnya lemah.
NM tidak sampai menggali sejarah asma Allah, kapan pertama kali digunakan dan kapan disebut bersamaan dengan tuhan-tuhan kepercayaan Jahiliyyah.
Kemudian, NM juga tidak mengkaji lebih mendalam perubahan konsep yang terjadi ketika kata Allah dikembalikan kepada konsep aslinya oleh Islam. Selain itu kata Allah itu sendiri adalah lafaz nama yang bunyi lafaznya turun langsung dari Allah melalui Nabi dan diriwayatkan secara rapih. Jika nama itu merupakan alif lam yang ditambahkan kepada kata-kata ilah, maka lafaz itu mestinya berbunyi Allah bukan Alloh. Dalam hal ini para ulama berpegang pada teori: Al-rasm tabi li al-riwayah (tulisan itu mengikuti riwayat). Selain itu jika lafz Allah itu merupakan penambahan prefiks alf lam pada kata-kata ilah, maka dapat diartikan bahwa Allah adalah salah satu genus dari ilah-ilah yang ada. Ini yang tidak dipertimbangkan oleh NM.[29]

Pemahaman NM yang seperti berimplikasi pada menafikan ism Allah sebagai ma’rifah. Padahal Allah adalah ism yang memiliki nama-nama lain yang baik (al-Asma’ al-Husna). Jika Allah diartikan sebagai “Tuhan yang sebenarnya itu” maka terjemahan rabbukumullah adalah Tuhan kamu adalah Tuhan itu. Ini rancu. Demikian pula inni ana Allah akan berarti “sesungguhnya Aku inilah Tuhan yang sebenarnya itu”, dan ini tidak logis karena inni ana adalah deklarasi identitias personal, dan jika kemudian disusul dengan kalimat “Tuhan yang sebenarnya itu” maka deklarasi yang maksudnya untuk menyingkap asma Allah itu menjadi misteri lagi.

c) Pemahaman “Islam yang Inklusif”
Dari pemahaman makna Islam dan pemahaman makna lafz Allah diatas, NM ingin membawa pemahaman Islam yang dalam istilah gereja disebut “inklusif”. Pemahaman ini merupakan prasyarat bagi paham pluralisme agama. NM mencoba membawa sesuatu yang menjadi ciri khas Islam kepada ciri yang lebih umum yaitu sikap keberagaman. Dengan dalih bahwa agama yang dibawa oleh nabi-nabi itu hakekatnya adalah Islam juga.
Jadi dengan merubah makna al-Din, al-Islam dan lafz
Allah NM dapat menawarkan paham inklusifitas Islam atau paham pluralisme agamanya. Sebab dengan merubah kata-kata kunci tersebut pemahaman ayat yang berbunyi Inna al-din ‘inda Allah al-Islam, yang berarti “Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah Islam” menjadi berarti “Sesungguhnya agama yang diterima Tuhan adalah yang berserah diri’. Tuhan disini bisa saja diartikan Yahweh, Wishnu, Buddha Gautama, tuhan Bapak, atau the Real nya John Hick. Artinya siapapun dan agama apapun yang berserah diri akan diterima amal baiknya. Ini adalah pandangan yang mendukung konsep pluralisme agama. Sebab ia menyatakan sbb:
Ketuhanan YME adalah inti semua agama yang benar. Setiap pengelompokan (umat) menusia telah mendapatkan ajaran tentang ketuhanan YME melalui para rasul. Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama dan orang-orang Muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan sebagai landasan.[30]
Sebenarnya memaknai kata kunci Allah menjadi ‘Tuhan’ mengandung kerancuan konsep. Masalahnya apakah konsep Tuhan yang dipahami oleh agama lain itu sama dengan konsep Allah dalam Islam? Tuhan dalam Islam, misalnya tidak beranak dan tidak diperanakkan sedangkan Tuhan dalam Kristen beranak. Tuhan dalam Islam hanya satu sementara Tuhan dalam agama Hindu ada 3 Brahma, Wisnu dan Shiwa dan masing-masing mempunyai peranan yang berbeda. Jika memang Tuhan dalam Kristen, Majusi dan lain-lain itu sama mengapa Rasulullah mengajak mereka masuk Islam atau mengajak mereka kepada kalimah sawa’ ? Kalimah sawa’ yang dimaksud bukalah kompromi teologis, bukan common platform, tapi tawhid dalam Islam yang menjadi ajaran-ajaran Nabi-nabi terdahulu. Titik kesamaannya bukan sekedar percaya pada Tuhan, tapi konsep keesaan Tuhan yang dibawa nabi-nabi terdahulu dan dilengkapi Islam.

Persoalan lain timbul ketika NM menafsirkan al-Baqarah 62 dan al-Ma’dah 69 yang berbunyi :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Sabian, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta beramal saleh, maka tiada rasa takut menimpa mereka dan mereka pun tidak perlu bersedih. (al-Baqarah 62)Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (al-Ma’idah, 69)
Dalam penafsirannya NM nampaknya tidak merujuk kepada kitab-kitab klassik. Ia mengklain bahwa penafsiran ini adalah penafsiran umum yang ia sebut “pengertian spontan”. Yaitu bahwa ayat ini “memberi jaminan bahwa sebagaimana orang-orang muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada hari kemudian, kemudian berdasarkan kepercayaannya itu ia berbuat baik, maka mereka semua itu masuk surga.”[31] Dari pemahaman sepontan itu dapat membawa pengertian bahwa Muslim, Yahudi, Nasrani dan Shabiun mempunyai setatus kebenaran yang sama. Padahal kata-kata “sesungguhnya orang-orang mu’min” disitu menurut ibn Qutaybah dan kebanyakan mufassirun, adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq.[32] Maka dari itu disusul dengan kata-kata “yang beriman kepada Allah” (man aman billah). Jika tidak maka aka timbul pemahaman bahwa orang yang beriman itu tidak berbeda keimanannya dari pemeluk agama lain.
NM kemudian merujuk kepada Tafsir al-Baydhawi. al-Baydhawi menyatakan yang dimaksud dengan agama-agama itu adalah “agama masing-masing sebelum agama itu dibatalkan (mansukh), dengan sikap membenarkan dalam hati akan pangkal pertama (al-mabda’) dan tujuan akhir (al-ma’ad), serta berbuat baik sejalan dengan syariat agama itu.” Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiun dsb itu kini telah mansukh. Artinya ayat ini berlaku untuk ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Bahkan menurut al-Tabari al-Baqarah ayat 62 dan Ali Imran ayat 69 itu telah di mansukh oleh ayat 75 Ali Imran “Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….”. Jadi ahlul kitab yang tidak memeluk Islam artinya beriman kepada Allah dan rasulNya maka agama atau din mereka itu tidak akan diterima Allah. Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas,[33] dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. Tapi sayagnya NM tidak memberi catatan apa-apa dari penafsiran al-Baydhawi tersebut. Ia malah segera mengutip Yusuf Ali dan Muhammad Asad dan menyimpulkan bahwa siapapun yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat baik, tanpa memandang apakah keturuan Nabi Ibrahim seperti kaum Yahudi atau bukan akan memperoleh keselamatan.

Selanjutnya, NM malah memasukkan agama-agama lain seperti Veda, Buddha, Konghucu kedalam golongan ahlul kitab. Lagi-lagi disini NM merujuk kepada A Yusuf Ali. Dengan dalih bahwa Sabian yang disebutkan dalam al-Qur’an itu adalah penyembah bintang. Oleh karena itu para pengikut Zoroaster, Veda, Buddha, Konghucu, dan Guru budi pekerti yag lain dapat dimasukkan kedalam ahlul kitab. Padahal meurut al-Tabari yang berdasarkan pada berbagai riwayat orang Sabean itu adalah kaum yang menyembah malaikat, membaca kitab Zabur dan sembahyang menghadap kiblat.[34] Dan menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah Shabiun itu adalah umat yang telah ada sejak sebelum datangnya Yahudi dan Nasrani, mereka itu ada yang hanif dan ada yang musyrik.[35] Meskipun perlu dikaji lebih lanjut, nampaknya Shabiun disebut dalam ayat itu bukan karena syiriknya tapi karena mereka adalah ummat yang percaya pada nabi-nabi terdahulu, meskipun kepercayaan mereka itu telah mengalami kerusakan.
Dalam pemahaman beberapa masalah diatas NM nampak tidak menggali khazanah pemikiran Islam secara komprehensif, tapi lebih cenderung merespon tren pemikiran yang berkembang di Barat. Dalam memaknai Islam misalnya, ia lebih menekankan pada makna “berserah diri” daripada makna Islam sebagai agama. Ini jelas merupakan bukti bahwa NM sangat dipengaruhi oleh paham inklusifisme atau pluralisme yang kini berkembang pesat di Barat.

C. Proses liberalisasi dan sekularisasi

Gagasan NM tentang liberalisasi dan sekularisasi “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” dapat dilihat aplikasinya dalam kumpulan makalah yang terrangkum dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban. Yang menonjol dalam tulisan-tulisan NM adalah upaya-upaya untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional. Dalam artian bahwa ia tidak banyak merujuk kitab-kitab klasik. Kalaupun ia merujuk, ia hanya mengambil pandangan yang sesuai dengan gagasannya. Dalam sub-judul “Iman dan Persoalan Makna serta Tujuan Hidup Manusia”, NM tidak merujuk satupun kitab klasik. Padahal konsep seminal dalam al-Qur’an tentang iman, hidup, dan manusia itu telah dikembangkan sejak lama oleh para ulama. Konsekuensi sikap ini dapat dilihat dalam sub-judul “Simpul-simpul keagamaan Pribadi: taqwa, tawakkal, ikhlas”. Karena ia melepaskan nilai-nilai tradisional maka eksposisinya tidak mengandung suatu teori baru dan segar yang dapat bermanfaat sebagai obat bagi nestapa psikologis manusia modern. Padahal teori-teori al-Balkhi, al-Ghazzali, al-Razi, dsb., begitu canggih (sophisticated) dan masih terbuka untuk dikembangkan. Pendek kata Bagian Ke Satu buku tersebut dan sub-judul didalamnya memiliki pendekatan yang hampir sama. Yang terpenting dan mendapat penekanan yang menonjol pada Bagian Satu adalah teori NM tentang kemajemukan, yaitu teori yang menjustifikasi paham pluralisme agama.

Pada Bagian Kedua dari buku itu yang berjudul “Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional”.[36] Pembaca mungkin berharap dari Bagian ini akan ada kritik terhadap ilmu tradisional, sebab obsesi NM adalah melepaskan nilai-nilai tradisional. Tapi membaca dengan cermat seluruh makalah dalam Bagian ini, kita akan kecewa. Karena tidak menemukan kritik-kritik yang tajam terhadap nilai-nilai atau ilmu-ilmu tradisional. Selain bentuk tulisan diskriptif yang dominan aspek kesejarahannya juga menonjol. Bagi pembaca kalangan akademis akan sulit menangkap indikasi adanya framework baru dalam bidang keilmuan.

Dari sini pembaca akan mengerti mengapa NM menyatakan bahwa Islam bukan peradaban tapi asas peradaban. Islam keluar dari jazirah Arab hanya bermodalkan iman. Tapi kemudian ia mengambil kutipan yang justru bertentangan dengan itu dan tidak memberi catatan yang berarti. Seperti misalnya

…sebelum orang-orang Arab mewarisi filsafat alam Yunani dan alkami Cina kemudian meneruskannya ke Barat, tidak ada badan tunggal ilmu pengetahuan alam yang diteruskan dari suatu peradaban ke paradaban yang lain. Sebaliknya dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalannya sendiri-sendiri.
Para filosof Yunani dan Cina memberi penjelasan yang berbeda tentang dunia fisik yang sama….….orang-orang Arab menyatupadukan badan ilmu pengetahuan yang luas itu dan menambahkannya…(kutipan dari George F Kneller, Science as a Human Endeavor,
New York: Columbia University Press, 1978, 3-4).[37]
Dari kata-kata “dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalannya sendiri-sendiri” sebenarnya dapat ditangkap bahwa Islam mempunyai jalan atau cara pandang dan metodologi tersendiri tentang ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa cendekiawan Muslim tidak hanya bermodalkan iman, tapi juga teori dan metodologi.
Tapi NM gagal membuat teori tentang metodologi apa yang dimiliki cendekiawan Muslim sehingga mereka berhasil menyatupadukan “badan ilmu pengetahuan dan menambahkannya”. Yang kita dapati disitu hanya pernyataan bahwa ilmuwan Muslim berjasa menginternasionalkan ilmu pengetahuan dan menyebarkannya. Sementara itu pada halaman selanjutnya (lihat hal. 153) NM jelas-jelas mengutip Dimont bahwa “Budaya Arab tidaklah didirikan diatas rampasan negeri-negeri lain dan otak orang-orang lain. Ia tumbuh dari kedalaman sumur daya cipta yang ada pada manusia itu sendiri” (dari Max I Dimont, The Indestructible Jews,
New York: New American Library, 1973, 184). Disni nampak sekali bahwa NM gagal menangkap sistim epistemologi Islam atau sistim epistemologi dalam tradisi intelektual Islam yang lahir dari hasil daya cipta Muslim sendiri, dan bukan hanya sekedar iman seperti yang disinyalir NM. Padahal ilmu-ilmu seperti Fiqih, Hadith, Tafsir, Faraid, Tarikh dan sebagainya adalah ilmu yang benar-benar lahir dari tradisi tafaqquh dalam Islam.
Disini proses liberalisasi dan sekularisasi yang intinya melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional tidak berdasarkan pada suatu kajian apresiatif atau kritis terhadap tradisi pemikiran Islam secara ilmiyah dan komprehensif. Oleh karena kegagalan itu maka usahanya untuk “Menyesuaikan, mempersegar, memperbarui dan mengorganisasikan ide-ide Islam sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang”, juga tidak berhasil. Maslahnya ide-ide yang “disesuaikan, dipersegar, diperbarui dan diorganisasikan” itu tidak nampak jelas. Lebih-lebih jika ditelusuri dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana. Belum selesai membahas masalah keilmuannya NM segera mengamati pluralitas komunitas ilmuwan yang terlibat dalam tradisi intelektual Islam. Jadi, pembahasan terhadap dimensi sosial dan kultural nampaknya lebih menonjol daripada dimensi keilmuannya.
Dalam proses liberalisasi dan sekularisasi yang minus epistemologi itu NM kemudian malah menggagas ide keterbukaan terhadap “konsep-konsep asing”. Ia hanya dapat meninggalkan tradisi dan mendatangkan konsep asing dengan tanpa perangkat keilmuan untuk itu. Teori bagaimana Muslim seharusnya mengadapsi konsep-konsep asing kedalam ranah pemikiran Islam tidak mendapatkan elaborasi yang mencukupi. Buku kompilasi yang digarap semasa NM berada di Amerika berjudul Khazanah Intelektual Islam, tidak dapat memotret suatu framework yang telah berjalan dalam perjalanan intelektual para cendekiawan Muslim dimasa lalu.
Jika seandainya pada Bagian
Kedua NM berhasil melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu tradisional, tentu ia akan mengemukakan bangunan ilmu-ilmu keislaman yang baru. Sebab kritik terhadap suatu disiplin ilmu akan melahirkan disiplin ilmu baru. Namun karena NM gagal melakukan kritik ia pun gagal menghasilkan keilmuan Islam yang baru. Disini tradisi pemikiran Islam yang memiliki alur al-nafy wa al-ithbat (negasi dan affirmasi) tidak sepenuhnya tercermin dalam pemikiran NM. Kritik atau negasi terhadap pemikiran umat Islam itu ternyata hanya bersifat superficial.
Oleh sebab itu Bagian Ketiga diberi judul “Membangun Masyarakat Etika”, bukan membangun pemikiran keislaman yang baru atau membangun disiplin ilmu keislaman yang baru. Dalam sub-sub judul didalamnya nampak tidak coherent. Konsep individu yang merupakan asas bagi pembentukan masyarakat tidak dibahas secara mendetail. Ia juga tidak menghubungkan konsep individu tersebut dengan konsep kosmologi, antropologi dan hukum dalam al-Qur’an. Namun yang menarik disini, meskipun ia menolak nilai-nilai tradisional, ia menyatakan bahwa “sejarah Islam memperoleh keutuhannya dan maknanya yang khas dari adanya pandangn hidup…”[38]. pada paragraf selanjutnya ia menyatakan bahwa
..ketika Islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari banyak pribadi Muslim itu terkait, saling menopang, dan kemudian menyatu, maka al-Islam pun melandasi terbentuknya suatu kolektiva spiritual (ummah) dengan ciri-ciri yang khas sebagai pancaran cita-citanya yang khas. Maka sebatas ini al-Islam mendorong lahirnya pola-pola ikatan kemasyarakatan dan itu intinya adalah hukum.[39]

Disini NM menangkap Islam sebagai suatu pandangan hidup (worldview), kemudian ia menggambarkan secara ringkas konsep hubungan antara individu dan masyarakat atau ummat yang berlandaskan pada sistim hukum. Namun, sayang ia tidak mengelaborasi lebih lanjut apa bentuk pandangan hidup yang ia sebutkan itu secara konseptual. Dan bagaimana pula bentuk pola-pola ikatan kemasyarakatan yang dihasilkan Islam yang intinya adalah hukum. Padahal sebelumnya ia menolak Islam sebagai al-Din yang mencerminkan struktur hukum. Belum selesai membahas ini ia tiba-tiba membahas tentang Ijtihad Umar. Disini pun NM gagal menangkap konsep ijtihad Umar yang dapat dikembangkan kemudian. Sub-judul “Masalah Etos Kerja…” juga tidak mendetail.

III. Dampak Sosial dan Intelektual
Gagasan yang dilontarkan di TIM 1971 dan 1972 yang kemudian disebut gagasan pembaharuan pemikiran Islam
Indonesia itu ternyata tidak sepenuhnya terrealisir. Artinya antara gagasan dan realisasinya tidak memiliki korelasi yang positif. Sebabnya bisa ditelusuri dari berbagagi sisi. Pertama gagasan yang dilontarkan 37 tahun yang lalu itu ternyata tidak berdasarkan suatu kritik yang ilmiyah terhadap kondisi pemikiran umat Islam saat itu. Kritiknya lebih berorientasi politis atau sosiologis. Kedua, prinsip sekularisasi yang didalamnya terdapat upaya melepaskan diri dari nilai tradisional itu ternyata tidak berjalan dengan baik, karena asasnya bukan asas epistemologis. Ketiga, upaya untuk membuka diri menerima ide-ide asing warisan kemanusiaan itu tidak dibekali oleh konsep-konsep yang kuat dalam Islam, yaitu konsep-konsep yang berguna dalam proses peminjaman ide-ide asing itu untuk peradaban Islam. Akibatnya, kini banyak cendekiawan muda Muslim yang terlalu berlebihan mengapresiasi konsep-konsep Barat dan tanpa sikap kritis.
Dari sisi sosial keagamaan gagasan pembaruan pemikiran yang dilontarkan NM masih bersifat elitis. Padahal kritiknya ketika melontarkan gagasan awalnya itu ditujukan kepada kepada umat Islam kelas bawah. Oleh sebab itu pengaruhnya terhadap pemikiran elit perkotaan cukup signifikan, khususnya untuk kota
Jakarta dan sekitarnya. Namun, karena elit perkotaan yang merespon gagasan NM ini tergolong masih awam dalam kajian Islam, ide-ide keislaman yang dilontarkan NM diterima dengan tanpa kritik. Hingga kini komunitas yang mendapatkan manfaat dari pemikiran NM ini lebih banyak bersikap apresiatif. Buku berjudul Prof. Dr.Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa hampir seluruhnya berisi makalah-makalah yang simpatik dan apresiatif. Jika pendukung NM konsisten dalam mengikuti Barat, kini sudah waktunya muncul dari kalangan mereka yang mengkritik ide-ide NM dan dikembangkan dalam bentuk yang lebih akademis.
Selain dari sisi sosial keagamaan dari sisi intelektual, pengaruh pemikiran NM masih sangat terbatas. Sekurang-kurangnya masih berkisar dilingkungan IAIN, HMI dan beberapa perguruan tinggi negeri tertentu. Pengaruh inipun tidak berjalan lama dan mentradisi. Tidak banyak cendekiawan Muslim yang berkecimpung dalam berbagai disiplin ilmu sekuler yang dapat merealisir gagasan pembaharuan NM ini dalam bidang mereka masing-masing. Gagasan pembaharuannya belum sampai menyentuh persoalan pembentukan atau penyusunan kembali disiplin ilmu-ilmu sekuler menurut prinsip-prinsip Islam. Tidak ada upaya dari pengikutnya yang melanjutkan gagasan pembaharuan NM dalam bidang ekonomi, politik, sains, dan lain sebagainya.
Dampak intelektual yang menonjol terhadap pemikiran generasi sekarang ini adalah gagasan Islam inklusif NM. Gagasan ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa tingginya dari anggota komunitas pemabaharuan Islam. Gagasan Islam inklusif NM malah mendapatkan tempat yang penting dalam diskursus pluralisme agama yang akhir-akhir ini sangat marak dan merupakan agenda kelompok pemikir liberal. Gagasan kebebasan berfikir dan keterbukaan NM itu kini menjadi senjata ampuh kelompok liberal dalam memasarkan ide-ide liberal mereka.

Penutup
Gagasan pembaharuan pemikiran Islam NM itu hanya berpijak pada hasil pengamatannya terhadap kondisi umat Islam
Indonesia. Itupun telah berubah pada beberapa dasawarsa berikutnya. Bahkan kini asumsinya tentang politik umat Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh sebab itu tidak heran jika gagasan ini tidak bisa muncul menjadi wacana internasional atau sekurang-kurangnya menjadi diskursus hangat kalangan intelektual Muslim tingkat dunia.[40] Sebabnya, pertama mungkin masalah teknis bahasa, artinya gagasan NM yang terlontar selama ini tidak pernah ditulis dalam bahasa Inggeris (atau diterjemahkan orang kedalam bahasa Inggeris) sehingga tidak dapat tersebar dan dibaca ummat Islam dinegara-negara lain.[41] Kedua, mungkin substansi gagasannya dinilai terlalu berbau keindonesiaan yang terbatas pada dasawarsa 70 an dan 80 an. Ketiga, gagasan pembaharuannya itu mungkin tidak menawarkan konsep-konsep baru dalam pemikiran Islam yang dapat memberi solusi bagi problematika yang dihadapi dunia Islam saat itu dan saat ini. Kemungkinan-kemungkinan tersebut masih perlu pengujian lebih lanjut. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas dan upaya-upaya berlebihan oleh sementara pihak untuk membekukan dan membakukan pemikrian NM, maka perlu kiranya gagasan itu ditinjau kembali dengan dievalusasi secara kritis dan analitis. Jika para eksponen pembaharuan pemikiran Islam berhenti pada sikap glorifikasi dan merasa tabu untuk melontarkan kritikan terhadap NM, maka ini hanya membuktikan bahwa NM sendiri telah gagal mengaplikasikan gagasannya.


Kuala Lumpur, 9 Maret 2007
________________________________________
* Makalah disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut,
Kuala Lumpur, 9 Maret 2007.
[1] Nurcholish Majid, “Dialog Keterbukaan”, lihat Facry Ali, Kata Pengantar, xxi.
[2] Kutipan teks pidato NM berasal dari Charles Kurzman (editor), “Liberal Islam, A Source Book”, di Indonesiakan oleh Bahrul Ulum & Heri Junadi, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta : Penerbit Paramadina, cetakan 12001,
[3] Ibid, 485-486
[4] Ibid, 486.
[5] Ibid, 487
[6] Ibid
[7] Ibid, 488
[8] Tajdid dalam konteks hadith Nabi adalah “menghidupkan kembali ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dijalankan dan mengamalkan apa yang dikehendaki keduanya” lihat Abd Rahman Muhammad Uthman (Muhaqqiq) ‘Aun al-Ma’bud, ‘Ala Sunan Abi Dawud, Sharh Abi Tayyib Muhammad Shams al-Haqq ‘Adhim Abadi, al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyyah, 1969, juz 11, hal. 386; Ibn Kathir menjelaskan bahwa tajdid adalah menyebarkan ilmu dari orang-orang yang terdahulu kepada orang-orang sesudahnya…..pada tiap generasi baru akan ada orang-orang adil yang membawa ilmu ini. Mereka membersihaknnya dari penyelewengan para pemalsu dan pengotoran para pembohong”, Dalail al-Nubuwwah, seperti dikutip Bustami M Said MA, dalam Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, Pusat Studi Ilmu dan Amal (PSIA), IPD-Gontor, 1992, 17.
[9] Ibid, 488-489.
[10] Ibid, 489
[11] Istilah istikharah yang merujuk kepada suatu macam shalat sunnah berasal dari adalah dari akar yang sama, khayr, artinya memohon petunjuk untuk memilih yang baik. (allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika…).
[12] Ibid,
[13] Ibid, 490
[14] Ibid, 491
[15] Ibid
[16] Al-Ghazzali, al-Imam Abu Hamid. (1993). “Al-Risalah al-Laduniyyah”. Majmu‘at al-Rasail li al-Imam al-Ghazzali. vol. 3.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal. 63; lihat terjemahan Inggerisnya di JRAS. Part III, July, 23.
[17] Nurcholish Majid, Ibid, 502
[18] Al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal. 105
[19] Al-Bayjuri, Tuhfat al-Murid al Jauhar al-Tawhid, 12
[20] Al-Tahanawi, Kashshaf Istilahat al-Funun wa al-Ulum, jld 2, 503.
[21] Mustafa Abd al-Raziq, al-Din wa al-Wahy fa al-Islam,
Cairo: Dar Ihya al-Kutub Isa Babi al-Halabi, 1945, hal. 29.
[22] Ahmad bin Abdullah Jud, Ilm al-Milal wa Manahij al-Ulama Fihi,
Riyadh: Dar al-Fadilah, 2005, 17-19.
[23] Ihsan Ali Fauzi, Pemikiran Indonesia Dekade 1980 an, dalam
Sukandi AK (Penyunting), Prof.Dr. Nurchlish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangs, Pustaka Pelajar, 2003, 241
[24] Nurcholish Majid, “Dialog Keterbukaan”, lihat Facry Ali, Kata Pengantar, xxxiii-xxxvii.
[25] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, 2, lihat footnote no 8; 41. Selanjutnya disingkat IDP
[26] Lihat misalnya wawancara NM dengan Harian Pelita, tanggal 17-21 Oktober 1986, berjudul “Antara Tuhan atau Dewata Raya” dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Penerbit PARAMADINA, Jakarta, 1998, 259-262.
[27] IDP, li.
[28] Ismail R al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The cultural Atlas of Islam,
New york: McMillan, 1986, 65-66
[29] Dalam masalah ini ternyata NM tidak melakukan kajian pendahuluan seperti yang dilakukan Izutsu. Dalam bukunya God and Man in the Kur’an: Semantic if the Koranic Weltanschauung,
Tokyo: The Keio Insatitute of Cultural and Linguistic Studies, 1964.
[30] IDP, 1

sumber: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil

1 komentar:

  1. Buku "The Indestructible Jews" oleh Max I. Dimont sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul "Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib?"

    Terdapat di Gramedia Matraman dan PI Mall.

    BalasHapus