Kamis, 14 Mei 2009

Nilai Hidup Bangsa Jepang

“Mereka yang pernah mendaki Gunung Fuji, layak disebut orang bijak. Namun, mereka yang mendaki untuk kedua kalinya, layak disebut orang bodoh.” - Rahasia Pepatah Jepang -

Gunung Fuji dengan ketinggian 3.776 meter merupakan gunung tertinggi sekaligus simbol bagi rakyat Jepang. Bentuknya yang megah semakin memantapkan julukannya sebagai gunung keramat. Konon, wanita sempat dilarang keras mendaki gunung tersebut karena dewi Gunung Fuji akan cemburu.

Gunung Fuji yang berarti “keabadian” menjadi pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif tatkala keadaan mulai kian mustahil. Inilah salah satu faktor mengapa Jepang bisa sukses menguasai dunia walau memiliki segunung kekurangan.

Bangsa Jepang tidak pernah memiliki peradaban yang hebat dan sejarah yang bisa dibanggakan seperti Negara-negara lain. Negaranya cantik dan indah, tetapi tidak memiliki hasil alam yang bisa dimanfaatkan. Orangnya kecil dan pendek. Namun, di balik segala kekurangannya itu, mereka berjiwa besar dan memiliki impian yang melebihi kemampuan geografisnya. Budayanya unik dan nilai tradisinya mempesona. Wanitanya seperti gadis pingitan yang sangat pemalu dan segan. Prianya tegas dan garang seperti samurai yang siap perang. Gunung Fuji selalu menjadi sebutan karena diselimuti salju putih dan mendamaikan siapa pun yang memandangnya.

Kita kenal bangsa Jepang karena mereka pernah menjajah tanah Melayu. Banyak yang membenci bangsa Jepang karena kekejaman dan keganasan yang dilakukannya. Bagaimanapun, bangsa Jepang kini sudah berubah. Kedatangan mereka tidak lagi ingin menjajah dan menguasai hasil kekayaan negara yang mereka datangi. Kedatangan bangsa Jepang untuk berdagang dan mencari peluang ekonomi baru. Mereka membuat perindustrian dan mendirikan perusahaan- perusahaan di semua tempat. Tujuannya hanya mencari keuntungan demi membangun kembali ekonominya seperti sediakala. Tujuannya menjadi negara maju dan penguasa ekonomi dunia sudah tercapai. Meskipun sudah menjadi sebuah negara kaya dan tersohor, tetapi mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka terus berusaha memperbaiki prestasi mereka di bidang ekonomi.

Faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada budaya kerja, sistem etika, pengelolaan yang bagus, kreativitas, dan semangat juang tinggi tanpa mengenal arti kekalahan. Mereka menjadi kebanggaan Asia karena dapat mengatasi pihak Barat dari segi prestasi dan produktivitasnya. Bangsa Jepang terkenal rajin dan optimis. Cara mengendalikan suatu masalah dan pekerjaan berbeda dari gaya Barat. Keberhasilan bangsa Jepang sangat mengagumkan sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan seputar formula yang mereka gunakan. Kesuksesan Jepang tersebut luar biasa, meskipun mereka pernah musnah saat Perang Dunia berakhir. Banyak penelitian yang menyoroti budaya kerja dan rahasia kesuksesan bangsa Jepang. Hal ini terbukti dengan banyak diterbitkannya buku-buku yang berkaitan dengan Jepang. Banyak aspek mengenai bangsa Jepang yang disentuh, termasuk aspek pemikiran dan pengelolaan. Terdapat pula tulisan yang terlalu bersifat teknik dan sukar dipahami karena diterjemahkan dari buku-buku yang diterbitkan di Jepang.
Tulisan ini dapat menjadi rujukan, panduan, dan motivasi agar kita dapat lebih dekat mengenal bangsa Jepang. Hal positifnya, banyak rahasia dan formula yang dapat digali dari mereka. Formula ini sebenarnya bukan rahasia lagi. Kita sudah mengetahuinya, tetapi kita tidak pernah menggunakannya. Formula kesuksesan bangsa Jepang mudah dan lebih gampang daripada formula matematika. Untuk mencapai sukses, formula ini harus digunakan dan dipraktikkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi formula dan rahasia yang nantinya akan hilang oleh perubahan waktu dan zaman. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada di tangan kita dan bukan terletak pada negara.

Sumber: Retno Kintoko dari buku Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng
Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com

Mengapa Industri Jepang Bisa Maju?
KETIKA pertama kali tinggal di Jepang saya terheran-heran mengetahui bahwa listrik di Jepang tekanannya 110 volt. Saya terheran-heran karena belum lama sebelumnya di Jakarta rumah saya listriknya diubah dari 110 volt menjadi 220 volt dan perubahan itu bukan pula tanggungan PLN yang memaksakan perubahan, melainkan menjadi tanggungan pengguna listrik. Dengan berat hati saya membayar biaya perubahan itu dengan perkiraan bahwa untuk menjadi negara industri listrik haruslah 220 volt. Pada waktu itu pemerintah Orde Baru memang sedang bersemangat membangun negara dari negara pertanian menjadi negara industri.
Tetapi, mengapa Jepang yang sudah menjadi negara industri yang maju dan dikagumi dunia masih tetap memakai listrik dengan 110 volt? Suudon saya timbul, listrik di Indonesia oleh PLN dipaksa berubah menjadi 220 volt bukanlah karena tekanan 220 volt memang menjadi prasarat agar kita menjadi negara industri, melainkan karena para pejabat PLN termakan komisi dari perusahaan yang menjadi pemborong perubahan voltasi itu. Sangkaan saya dibuktikan juga oleh sejarah, meskipun sudah bervoltasi 220 volt, Indonesia belum juga menjadi negara industri, malah ambruk menjadi negara pengutang ratusan miliar dolar Amerika yang kerja pemerintahnya berkeliling meminta-minta kepada negara-negara maju, kalau perlu dengan melakukan apa pun juga yang mereka maui.
Dengan listrik 110 volt, Jepang mencukupi kebutuhan seluruh rumah tangga di seluruh Jepang, dari Okinawa sampai Sapporo, termasuk di daerah-daerah terpencil, baik untuk keperluan penerangan maupun untuk keperluan sehari-hari lainnya seperti mesincuci, kulkas, pemanas udara dan pemanas air dan sebangsanya. Dan tekanan 110 volt itu konstan sepanjang hari, tidak seperti di Jakarta yang biasanya turun jauh pada waktu malam karena banyak pemakaian dan pencurian listrik. (Sekarang pun setelah 220 volt keadaannya masih tetap saja).
Selama tinggal di Jepang 22 tahun hanya sekali saya mengalami listrik mati. Itu pun diberitahukan sebulan sebelumnya. Dengan listrik 110 volt Jepang memenuhi kebutuhan listrik untuk menggerakkan keretaapi baik yang di atas maupun yang di bawah tanah. Dengan listrik 110 volt Jepang menggerakkan mesin industrinya sehingga dikagumi bahkan juga oleh negara-negara maju: industri otomotif, industri perkapalan, industri elektronik dll.
Sesuatu negara menjadi negara industri bukan karena listriknya dirubah dari 110 volt menjadi 220 volt, melainkan karena kerja keras para penduduknya. Modal memang penting juga, tetapi bukan segala-galanya. Jepang sehabis perang adalah negara miskin yang gambarannya sekarang masih tampak misalnya dalam film-film yang dibuat pada tahun-tahun pertama sehabis perang antaranya oleh Kurosawa Akira. Jepang menggeliat menjadi negara industri karena kesempatan yang timbul oleh adanya Perang Korea. Modal Amerika melimpah ruah ke sana. Tetapi, modal itu menjadi berkembang mendorong industri nasional Jepang disebabkan oleh karena orang Jepang sendiri mempunyai etos kerja yang luar biasa.

Begitu hebatnya semangat kerja orang Jepang sehingga disebut sebagai workholic (turunan dari alcoholic) oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika dan Eropa. Pada waktu perkembangan ekonomi Jepang luar biasa, sehingga seorang sarjana Amerika menulis buku Japan as Number One. Berbagai studi dan buku tentang manajemen Jepang, semangat kerja orang Jepang dll diadakan dan diterbitkan. Perbandingan antara manajemen Jepang dan Barat dilaksanakan, dicari keistimewaannya sehingga bisa 'mengalahkan' kemajuan Barat. Orang Amerika dan orang-orang Eropa merasa kuatir dominasi ekonominya terkalahkan. Mereka mendesak orang Jepang agar mengurangi semangat kerjanya. Mereka mendesak agar Jepang mengikuti jejak mereka tidak bekerja pada hari Sabtu. Lima hari dalam seminggu bekerja sudah cukup, kata mereka. Dengan berat hati Jepang mengikuti desakan itu sehingga akhirnya mereka pun secara resmi hari Sabtu diliburkan.
Tetapi, di kalangan orang Jepang sendiri terdengar kecemasan karena melihat generasi muda yang lebih santai dan egoistis dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka cemas akan hari depan bangsa Jepang kalau generasi mudanya tidak lagi memiliki semangat dan etos kerja seperti mereka. Sementara itu, biaya hidup di Jepang kian meningkat. Tenaga kerja kian mahal sehingga industri Jepang tak bisa bersaing dengan negara-negara baru berkembang seperti Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Para pemodal Jepang memindahkan pabriknya ke negara-negara berkembang yang tenaga buruhnya lebih murah. Indonesia mula-mula menjadi salah satu negara pilihan untuk menanam modalnya, namun kemudian karena Indonesia kian korup dan tidak ada jaminan hukum, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Cina, Thailand, Vietnam, dll. menjadi pilihan yang lebih menarik. Krisis perbankan dan korupsi yang terjadi di Jepang sendiri, melemahkan industri Jepang dan menimbulkan krisis perekonomian yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, kalau kita hendak menjadikan Jepang sebagai cermin, akan kelihatan bahwa Jepang berkembang menjadi negara industri pada masa sesudah Perang Dunia II (ketika dia dikalahkan oleh Amerika dan sekutunya), adalah berkat kerja keras mereka sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka ingin membangun bangsa dan negaranya dari reruntuhan Perang Dunia, maka mereka bekerja dengan penuh kesungguhan sambil benar-benar mengencangkan ikat pinggang. Setelah mereka mencapai kemajuan yang membuat bangsa-bangsa maju lainnya irihati, mulailah bermunculan penyakit korupsi, egoisme, nepotisme dan berbagai penyakit sosial lainnya yang pada akhirnya menyeret bangsa Jepang ke lembah resesi ekonomi sehingga mereka tak bisa mencapai atau mempertahankan gelar as number one.
Apakah mereka akan keluar dari krisis berkepanjangan yang sekarang mereka alami? Tentu hal itu tergantung kepada usaha dan kerja keras mereka sendiri. Tetapi, konon usaha perbaikan sering menghadapi hambatan karena adanya mentalitas busuk peninggalan masa sedang jaya karena banyak orang yang merasa keenakan dengan kehidupan demikian sehingga enggan untuk mengubahnya-- meskipun demi kemajuan bangsa.
Kalau cermin Jepang kita terapkan pada diri kita sendiri: Kapankah dalam sejarah kita setelah merdeka pada tahun 1945 kita pernah bersungguh-sunguh hendak membangun (ekonomi) bangsa sehingga berkembang menjadi negara industri? Memang rencana dan slogan pernah disusun berkali-kali. Tetapi, apakah dalam pelaksanaannya kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Lima tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan kita sibuk dengan perang kemerdekaan mengusir Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan beberapa negara lain, kita mempunyai dua konsep tentang pembangunan ekonomi bangsa.
Konsep pertama dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang menjadi Menteri Kemakmuran dan kemudian Menteri Keuangan, yang menghendaki Indonesia menjadi negara industri, dengan mendirikan pabrik-pabrik bahan yang kita perlukan untuk membangun. Yang pertama mendirikan pabrik semen Gresik, untuk itu kita meminjam uang beberapa ratus juta dolar dari luar negeri. Dengan adanya pabrik semen dan pabrik-pabrik lain diharapkan industri kita akan berkembang pesat. Untuk itu pemerintah menyediakan kredit kepada para pengusaha nasional. Ternyata dalam praktik harapan itu tidak tercapai karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan 'pengusaha aktentas' yang mendapat rekomendasi dari partai-partainya.
Konsep yang kedua berasal dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjadi Gubernur Bank Indonesia. Konsep beliau berlandaskan kepada pertanian. Menurut beliau, sektor pertanianlah yang harus didahulukan. Untuk itu perlu dibuka jutaan km2 sawah oleh para petani kita. Untuk itu kita tidak usah meminjam uang dari luar karena untuk membuka hutan dan mengerjakan sawah bisa dilakukan dengan alat-alat sederhana seperti cangkul yang bisa kita buat sendiri. Dengan uang beberapa ratus juta dolar yang dipakai untuk memodali pabrik semen Gresik menurut beliau bisa memberi jalan hidup kepada puluhan bahkan ratusan ribu orang petani, sedangkan yang akan terlibat dengan kegiatan pabrik semen, termasuk dengan para penyalur, hanya beberapa ribu orang saja.
Karena Prof. Dr. Soemitro ketika itu menduduki jabatan eksekutif, konsep beliaulah yang dilaksanakan. Ternyata dalam praktik harapan agar industri kita berkembang pesat tidak tercapai, karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan para pengusaha lisensi, yaitu mereka yang karena mendapat rekomendasi dari partainya mendapat berbagai kemudahan kredit yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukan memajukan perindustrian. Oleh karena itu, bukan industri yang berkembang, melainkan korupsi. Apalagi setelah Sukarno merebut kekuasaan dengan dukungan Angkatan Darat (Jenderal Nasution) melalui Dekrit Presiden tahun 1959 yang memberlakukan lagi Undang-undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante yang hampir rampung menyelesaikan pekerjaannya dan kedua konseptor pembangunan ekonomi itu lari dari Jakarta. Dr. Soemitro kabur ke luar negeri karena konon menggabungkan diri dengan kaum pemberontak. Mr. Sjafruddin sendiri setelah habis cutinya di Palembang tidak mau kembali ke Jakarta dan mengikuti rapat di Sungai Dareh yang memberi ultimatum kepada Presiden Sukarno agar membentuk kabinet secara demokratis. Dan, karena ultimatum itu dijawab oleh pemerintah pusat dengan menjatuhkan bom di Painan, mereka membentuk kabinet tandingan (PRRI) dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri, kemudian menjadi Presiden RPI (Republik Persatuan Indonesia).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, walaupun Soekarno mengumumkan konsep Ekonomi Terpimpin, ekonomi Indonesia kian hancur karena Soekarno sendiri tidak mengerti ekonomi dan para pembantunya hanya melayani apa yang dimaui oleh Pemimpin Besar Revolusi saja --yaitu keinginan Soekarno sendiri. Soekarno berlaku seperti raja yang mementingkan ambisi-ambisinya dijalankan dengan patuh dan agar para pembantunya dapat menyediakan uang yang dia perlukan setiap waktu dia perlukan untuk memuaskan ambisinya, maka ia memberi keleluasaan kepada orang-orang itu untuk mempergunakan fasilitas menggunakan uang negara. Pada masa Orde Baru, konsep ekonominya seperti mau menggabungkan konsep Sjafruddin dan Soemitro, namun ilmu korupsi para pejabat kian lihai karena pemerintah Orde Baru menguras habis-habisan minyak bumi, hutan dan kekayaan laut untuk memperkaya diri sehingga berakhir dengan ambruknya Indonesia sebagai bangsa dan negara.***
Sumber: Ajip Rosidi www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/18/0804.htm - 24k

Tidak ada komentar:

Posting Komentar